CANTIKA.COM, Jakarta - Sakit kepala sebelah bukan perkara sepele bagi Indah. Gara-gara sakit kepala pula, dokter yang menanganinya sampai pernah menyarankan dia ke psikiater. “Karena sering banget sakit kepala sebelah, tapi dokter tak menemukan penyebab pastinya,” kata Indah, 32 tahun.
Indah memang kelewat akrab dengan nyeri kepala sejak duduk di sekolah menengah pertama. Ia bisa merasakan sakit kepala sampai tiga kali sepekan. Mendengar suara atau melihat sinar matahari saja, kepalanya nyut-nyutan, apalagi kalau belajar. Jika sudah begitu, ia hanya ingin tidur tanpa cahaya dan suara. “Sebulan saya bisa tiga-empat hari bolos sekolah karena sakit kepala,” ujar karyawan perusahaan swasta yang tinggal di Jakarta Pusat ini.
Baca Juga:
Dari dokter spesialis saraf; spesialis penyakit dalam; spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan; sampai psikiater yang dia datangi, tak satu pun memberikan diagnosis yang jelas ihwal penyakitnya. Mereka hanya memberikan obat pereda nyeri jika sakit kepalanya kambuh.
Tapi obat tersebut tak membantu banyak. Kalau serangan sakit kepala datang, ia tetap merasakan nyeri seharian. Karena lelah, Indah berhenti ke dokter saat kuliah. “Toh, saya juga enggak mendapat sesuatu di sana,” katanya. Indah akhirnya hanya mengantongi obat sakit kepala ke mana pun ia pergi. Namun makin lama penyakitnya makin menjadi. Kalau sedang sakit, ia bisa minum obat sampai delapan kali sehari.
Sekitar setahun lalu, Indah akhirnya mendapatkan diagnosis yang tepat atas penyakitnya. Tak sampai sepuluh menit, dokter spesialis saraf Salim Haris, yang memeriksanya, menyatakan Indah positif menderita migrain lewat metode baru diagnosis migrain yang ditemukannya. Ia memberikan dua jenis obat pengendali migrain. Dan benar, nyeri yang biasanya menyerang berkali-kali kini hanya dialami paling cepat sebulan sekali. “Saat haid. Itu pun yang biasanya berhari-hari tinggal sakit sehari saja,” ujar Indah, riang.
Baca Juga:
Migrain memang tak gampang didiagnosis. Panduan anamnesis untuk mengenali migrain yang dikeluarkan International Headache Society, perkumpulan ahli sedunia yang menangani nyeri kepala, hanya mampu mendiagnosis satu dari dua penderita. Satu penderita lain bisa tak terdiagnosis atau malah orang yang tak menderita migrain disangka berpenyakit ini. Apalagi banyak orang termakan iklan obat nyeri kepala. “Orang mengira sakit kepala sebelah itu migrain, padahal bisa jadi bukan, atau orang yang sakit kepala dua sisi malah bisa jadi menderita migrain,” kata Salim.
Ilustrasi migrain. Shutterstock
Akibatnya, orang yang menderita migrain jadi salah mendapat pengobatan, seperti Indah, atau malah orang yang sebenarnya tak menderita sakit kepala sebelah tersebut diobati dengan obat migrain. Padahal penyakit ini tak bisa disepelekan. Selain menghambat aktivitas penderita, migrain menjadi salah satu faktor risiko stroke.
Migrain terjadi akibat kelainan lapisan pembuluh darah bagian dalam pada otak. Kelainan ini menyebabkan pembuluh darah tak bisa melebar dengan maksimal seperti pembuluh darah normal. Saluran yang tak mengembang dengan maksimal ini membuat oksigen yang terangkut oleh darah ke otak juga tak maksimal. Padahal otak adalah bagian terpenting dari tubuh yang bertugas mengatur organ-organ lain.
Akibat kekurangan oksigen ini, kemungkinan kematian sel-sel otak pada penderita migrain lebih besar ketimbang pada orang normal. Kebanyakan kematian sel-sel ini tak terlihat dampaknya. Tapi, kalau yang terkena sel sensitif, bisa fatal. “Misalnya sel di bagian yang mengatur gerakan. Kalau mati selnya, orangnya bisa lumpuh,” ujar Kepala Divisi Neurovaskular dan Neurosonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ini.
Agar diagnosis lebih akurat, Salim membuat metode baru. Ia memanfaatkan ultrasonografi (USG) Doppler untuk mengetahui kelainan pembuluh darah tersebut. Alat ini akan mengincar satu sel darah merah dan memantau kecepatannya. Makin melesat kecepatan sel darah merah, makin sempit pembuluh darah. Logikanya sama seperti air yang mengalir dari slang: makin ditekan slangnya, air mengalir makin kencang. “Kalau sel darah merahnya larinya cepat sekali, berarti ada penyempitan di pembuluhnya,” ucapnya.
USG Doppler cukup ditaruh di pelipis, di dekat bagian atas telinga. Awalnya, pasien diminta bernapas seperti biasa. Alat USG yang ditempelkan di pelipis tersebut akan mengukur kecepatan sel darah merah dalam keadaan normal. Pasien selanjutnya diminta menahan napas selama 30 detik. Karena tak dimasuki oksigen, pembuluh darah akan melebar agar darah yang bertugas menghantarkan oksigen bisa lewat lebih banyak. Terakhir, pasien diminta bernapas dengan cepat untuk melihat penyempitan pembuluh darahnya.
Kecepatan itu dimasukkan ke rumus temuan Salim. Dari sini akan ketahuan apakah orang tersebut benar-benar menderita migrain atau tidak. “Akurasinya sampai 94 persen. Artinya, dari 100 orang, yang terdiagnosis 94 orang," ujarnya. Kalau rumus ini ditambah dengan anamnesis yang dikeluarkan International Headache Society, akurasinya makin tinggi, sampai 98 persen.
Temuan ini mengantarkan Salim meraih gelar doktor di Fakultas Kedokteran UI pada awal Januari lalu. Metode ini telah mendapatkan hak kekayaan intelektual sampai 50 tahun ke depan. Menurut Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Aldy Safruddin Rambe, temuan ini jelas akan membuat diagnosis migrain jadi lebih akurat. Tapi, masalahnya, metode ini bergantung pada USG Doppler.
“Di Jakarta, alat ini mungkin ada di semua rumah sakit, tapi di daerah belum tentu,” kata penguji Salim itu. Meski demikian, temuan ini bisa menjadi panduan untuk mengatasi migrain. Menurut guru besar ilmu penyakit saraf Fakultas Kedokteran UI, Teguh Asaat Ranakusuma, selain kepada penderita, pemeriksaan metode ini disarankan dilakukan kepada keluarganya. “Karena migrain itu diturunkan,“ ujar promotor disertasi Salim ini.
Ayah yang menderita migrain akan menurunkan penyakit ini kepada anak perempuannya. Sedangkan ibu yang menderita migrain menurunkan penyakit tersebut kepada semua anaknya. Karena itu, kebanyakan penderita migrain adalah perempuan. Indah, misalnya, mendapatkan migrain dari ayahnya. “Ayah saya juga menderita migrain. Alhamdulillah, sudah sama-sama bisa mengendalikan,” katanya.
NUR ALFIYAH