CANTIKA.COM, Palembang - Sumatera Selatan sejak dahulu dikenal sebagai salah satu daerah yang memiliki beraneka ragam kain tradisonal. Salah satunya adalah songket Palembang. Para leluhur di daerah ini sudah menyiapkan warisan untuk anak cucunya berupa kain jumputan, kain gebeng serta batik.
Beragam kain tradisional itu dipamerkan dengan tajuk “Pesona Kain Tradisional Sumsel” di Museum Negeri Sumsel hingga 4 Desember 2019.
Akademisi dan Sejarawan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang, Kemas Ari Panji, yang menemani Tempo ke pameran itu memperkenalkan satu per satu kain yang sudah dikenal sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam itu.
“Di dalam etalase ini merupakan kain batik lasem,” kata Kemas Ari, Selasa, 5 November 2019.
Menurut Ari, batik lasem merupakan kain dari bahan dasar katun yang dibuat dengan proses cap. Kuning merupakan warna dasarnya sedangkan pada bagian tengah warna dasarnya adalah merah. Dengan motif sulur-suluran, geometrik, dan pucuk rebung, batik ini biasanya dipakai untuk acara prosesi adat Palembang serta mafhum bila dikenakan sehari-hari.
Ari mengatakan pakaian-pakaian tradisional itu memiliki motif dan kegunaan yang berbeda-beda. Cara mengenakannya juga tidak sama.
Songket Palembang misalnya, berasal dari kata disongsong dan di-teket (sulam). Selain itu Ari Panji menuturkan kata "songket" berasal dari kata tusuk dan cukit yang disingkat menjadi sukit. Kemudian dari kata itu berubah menjadi sungki hingga sekarang familiar dengan sebutan songket.
Kemas Ari Panji, Akademisi dan Sejarawan dari Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang menunjukkan kain songket Palembang. Menurut Kemas Songket biasanya dijadikan pakaian pengantin adat Palembang yang dikenal sebagai aesan gede. TEMPO/Parliza Hendrawan
Songket Palembang dikelompokkan dalam lima jenis. Pembagiannya berdasarkan pada benang yang digunakan. Kelima jenis itu meliputi songket lepus, songket tabur, songket bunga-bunga, songket limar, dan songket rumpak.
Kelima jenis songket dikembangkan menjadi 74 motif. Sebanyak 21 motif di antaranya sudah tercatat di klinik Haki. Sedangkan 44 motif masih terdaftar dan 9 motif lainnya baru sebatas diinventarisasi. “Bahkan dari penggunaannya saja kita sudah tahu jenis kelamin dan juga status orang yang mengenakan songket itu,” tutur Kemas Arie.
Berikutnya Ari menunjukkan jumputan atau pelangi. Kata "jumputan" berasal dari men-jumput yang berarti memungut atau mengambil dengan semua ujung jari tangan. Hal itu mencerminkan teknik cara pembuatan dan pewarnaan kain. Sedangkan motif kain jumputan semakin beragam di antaranya kembang jamur, bintik lima, bintik sembilan, bintik-bintik dan cucung atau terong. “Sebelum dicelup ke pewarna kain diikat terlebih dahulu agar membentuk motif yang diinginkan,” ujar Kemas.
Kain gebeng juga masuk dalam salah satu kain tradisional yang dibuat dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Kain gebeng tidak menggunakan benang emas melainkan benang sutera dan nilon yang diberi pewarana dengan cara dicelup. Setidaknya terdapat tiga motif kain gebeng: poleng, poleng rangkap dan limar.
Motif poleng sendiri dapat dirinci berdasarkan pada cara mendesainnya: poleng dapros, poleng anak kantor, poleng geribig, poleng es lilin, poleng mata pirik, poleng Samarinda dan oteran. Sedangkan jenis limar dibagi lagi dalam motif limar patut, limar mendi, limar lorok, limar pulir, dan limar muda-mudi.
Sementara itu Defrico Audy, desainer kain songket menjelaskan ia sedang berupaya untuk menciptakan kain songket yang nyaman dipakai, motif tidak terlalu norak dan ketebalan dasar tidak terlalu membebani orang yang mengenakannya.
Meskipun demikian ia menjamin tidak akan mengubah motif yang sudah ada melainkan hanya sebatas melakukan modifikasi. Tujuannya agar kain songket tidak hanya sekadar pelengkap melainkan sebagai bahan pokok dalam berbusana. “Motif tidak diubah tapi hanya dimodifikasi agar kaum milenial mau memakainya dalam busana sehari-hari,” tandas Defrico.
PARLIZA HENDRAWAN