CANTIKA.COM, Jakarta - Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat perkawinan anak paling tinggi. Melansir data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 2018 terdapat 1 dari 4 anak perempuan di Indonesia yang menikah sebelum berusia 18 tahun.
Kondisi memprihatinkan di atas langsung dirasakan oleh Ketua Kelompok Perlindungan Anak Desa Kediri Lombok Barat Nusa Tenggara Barat Suci Apriani. Di desa yang ia tinggali masih kerap ditemui permasalahan yang menimpa anak dan perempuan. Perkawinan anak hanyalah salah satunya.
Suci mengatakan sejak 2016, beberapa organisasi kepemudaan di desanya telah melakukan survei dan analisis situasi. Mereka mencermati masalah apa saja yang ada di desa, lalu dikategorisasi dan coba dicarikan solusinya.
"Kalau masalah utama di desa kami adalah kekerasan terhadap anak, pemukulan fisik, dan juga pelecehan. Hal itu terjadi karena ketidaktahuan masyarakat kalau apa yang mereka lakukan itu termasuk kategori kekerasan," ucap Suci saat ditemui usai diskusi Summit on Girls Getting Equal: Let's Invest in Girls di Jakarta, Selasa, 10 Desember 2019.
Berawal dari pemetaan masalah itulah dibutuhkan wadah agar lebih fokus dan terorganisasi untuk mendampingi masalah perlindungan anak dan perempuan. Suci mengakui jika apa yang ia lakukan masih mendapat pertentangan dari banyak pihak, khususnya tokoh agama dan pemuka agama.
"Mereka masih menganggap laki-laki lebih punya eksistensi yang tinggi dibanding perempuan, jadi memang mencari tokoh agama yang satu jalan," lanjut ia.
Para tokoh, menurut Suci masih membawa sosok Siti Aisyah sebagai contoh lantaran menikah saat usia masih anak-anak. Hal itu dijadikan acuan bagi mereka, padahal kata Suci kondisinya sudah berbeda.
ilustrasi pernikahan muda (pixabay.com)
Sebagai contoh, kasus perkawinan anak yang kerap ditemui di desanya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur usia minimal pernikahan adalah 19 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, adat di Lombok membolehkan sebelum berlangsungnya akad nikah mereka menjalani tahap "merarik" atau kawin lari.
"Nah saat itu kami menggagalkan perkawinan anak perempuan usia 15 dan laki-laki 17 tahun, ketika proses 'merarik' dilakukan. Kami mengajak kepala desa setempat untuk memediasi dan memberi edukasi efeknya jika menikah dini. Setelah diberi pemahaman akhir pernikahan bisa digagalkan," kata perempuan kelahiran 1999 ini.
Meski belum mencapai hasil maksimal, Suci optimistis masalah demi masalah yang menimpa anak dan perempuan di desanya bisa dicegah. Dulu perempuan di tempat kami memang kerap dianggap kelas kedua, tapi perlahan eksistensinya mulai terlihat.
Tradisi perkawinan anak dikatakan Suci juga perlahan mulai dipahami para orang tua yang hendak menikahkan anak mereka di usia dini. Kalau dulu pertentangan datang dari orang tua yang ikut campur masa depan anaknya, sekarang malah sebaliknya anak beranggapan kalau menikah muda bisa jadi jalan pintas menuju kebahagiaan.
Selain sebagai garda depan melindungi anak dan perempuan, KPAD memiliki fungsi melakukan pencegahan kekerasan dan juga advokasi atau pendampingan jika ada masalah kekerasan yang menimpa mereka.
"Kegiatan lain mengadakan posyandu remaja dan membuat komunitas diskusi antara orang tua dengan anak-anak supaya bisa menyatukan gap yang ada," pungkas Suci.