CANTIKA.COM, Jakarta - Film Kim Ji-Young, Born 1982 menggambarkan kebudayaan patriarki di Asia yang dapat mengakibatkan seorang wanita terkena depresi pasca melahirkan. Menurut studi penelitian Internasional berjudul Perinatal Depression in Asian Women: Prevalence, Associated Factors and Cultural Aspcets oleh Chutima Romruangwong & C. Neil Epperson tahun 2011 menyebutkan ada beberapa faktor yang ada hubungannya dengan depresi pada saat hamil dan postpartum pada wanita Asia.
Studi menyebutkan bahwa kebudayaan sangat mempengaruhi depresi ibu, misalnya masalah pernikahan, dan konflik antara ibu mertua dengan menantu perempuannya, kekerasan dalam rumah tangga, dimana perempuan dipandang sebelah mata dan dianggap remeh.
Film ini bercerita tentang seorang perempuan usia 30-an, Kim Ji-Young, yang mengalami depresi pasca melahirkan. Kendati dia memiliki suami dan anggota keluarga yang supportif dan cukup peduli, nyatanya tidak bisa membebaskan dia dari depresi usai melahirkan. Kondisi depresi Kim Ji-Young ditengarai telah terjadi pada saat dia berada di bangku sekolah dan mendapatkan pelecehan seksual.
Selain itu karena terlahir sebagai perempuan, Kim Ji-Young sering mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan adik laki-lakinya. Anak laki-laki dianggap lebih istimewa dibandingkan anak perempuan. Begitu juga di lingkungan pekerjaan, di mana pekerja wanita tidak mendapatkan 100 persen gajinya, dan pendapatan istri tidak boleh lebih tinggi daripada suami.
Ketahanan mental yang dia bangun semenjak remaja seakan runtuh dan meledak ketika dia dan suami memutuskan untuk punya anak, dan dia harus resign dari pekerjaannya. Selain itu, ibu mertua Kim Ji-Young kerap memperlakukanya sebagai pembantu rumah tangga yang harus melayani semua anggota keluarga tanpa istirahat.
Ibu rumah tangga juga kerap distigma sebagai wanita "pengangguran" yang hanya bergantung kepada suami. Kim Ji-Young yang tadinya memiliki karier cemerlang harus merelakan masa depannya demi keluarga kecilnya. Bahkan keinginannya untuk kembali kerja ditentang oleh ibu mertuanya. Semua kejadian itu membuat Kim Ji Young semakin depresi dan kehilangan dirinya.
Dalam film tersebut kondisi Kim dilimpahi anugerah suami penyayang, orang tua yang hangat khusus sang ibu dan anak yang menggemaskan namun masih terkena depresi.
Menurut Founder Mother Hope Indonesia Nur Yanayirah, faktor risiko depresi pasca melahirkan sangatlah kompleks. Faktor biologisnya antara lain kecemasan atau depresi selama kehamilan, sejarah penyakit kejiwaan pada diri atau keluarga, penyakit tiroid, dan Premenstrual Syndrome (PMS).
Di luar itu, ada pula faktor psikologi seperti pola pikir negatif, sikap khawatir dan perfeksionis, kekerasan dalam rumah tangga, konflik keluarga, dan isu body image.
Faktor lainnya adalah sosial. Ibu setelah melahirkan rentan mengalami depresi jika pengalaman hidup penuh stres, menghadapi masalah finansial, kurangnya support, kekecewaan terhadap jenis kelamin bayi, juga bayi sakit atau berkebutuhan khusus. Faktor lainnya adalah kehamilan yang tidak diinginkan dan kesulitan menyusui.
Yana mengatakan, Kim Ji-Young bisa dibilang sebagai salah satu wanita yang beruntung karena sang suami begitu perhatian pada kesehatan mentalnya. "Kendati begitu, support system yang kuat saja tidak cukup untuk bangkit dari depresi, ibu perlu mendapatkan penanganan yang tepat oleh profesional," kata Yana kepada Tempo.co, Senin, 16 Desember 2019.
Kondisi yang dialami Kim Ji-Young juga dirasakan oleh Yana waktu di bangku SMA dan kuliah, dia beberapa kali menerima pelecehan seksual di angkutan umum. Selain itu budaya patriarki yang cukup kental terjadi dalam lingkungan keluarganya.
"Setelah menikah dan memiliki anak-anak saya mengalami depresi pasca melahirkan yang cukup berat. Saya kehilangan jati diri saya sebagai wanita yang dulu bekerja dan memiliki karier yang cukup cemerlang," tutur Yana.
Anggapan orang-orang di sekitar Yana bahwa istri harus menjadi pelayan, antara kasur, dapur dan sumur, tidak boleh mengeluh, tidak boleh sakit, harus kuat serta sempurna berakibat depresi pasca melahirkan.
"Saya merasa tidak berguna dan tidak berharga, jelek dan bodoh. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk melakukan upaya bunuh diri. Untungnya, saya bisa selamat dari upaya bunuh diri dan memutuskan untuk ke psikolog klinis," Yana menjelaskan.
Setelah diedukasi oleh psikolog, suami Yana mulai menunjukkan perhatian dan kepeduliannya, ia mau terlibat dalam proses pengasuhan anak, atau tugas domestik. "Ia juga tak malu lagi untuk mengantarkan saya ke psikolog dan mengikuti pertemuan di komunitas kesehatan jiwa," tutur Yana.
EKA WAHYU PRAMITA