CANTIKA.COM, Jakarta - Pengguna aplikasi TikTok tengah diramaikan dengan Skull Breaker Challenge. Aksi berbahaya ini melibatkan tiga orang yang berbaris. Ketika orang yang berada di tengah melompat, kedua rekannya akan menjegal kaki yang tengah hingga terjatuh.
Tren yang awalnya muncul di Amerika Selatan ini tentu saja dilarang untuk ditiru. Dampak yang dirasakan secara langsung dan sangat berbahaya adalah risiko kerusakan fisik yang cukup berat. Korban bisa mengalami gegar otak, kerusakan tulang belakang dan tulang ekor. Jika hal itu terjadi, maka anak akan menghadapi kendala dalam beraktivitas sehari-hari.
Dalam jangka pendek, anak harus menjalani pengobatan dan tindakan medis yang tidak sederhana. Sedangkan untuk jangka panjang, kemungkinan anak memerlukan terapi yang bisa jadi akan mempengaruhi kelangsungan proses belajarnya.
Menurut psikolog Anisa Cahya, risiko kondisi fisik inilah yang akhirnya juga akan menimbulkan dampak psikologis pada korban.
"Anak bisa mengalami kondisi depresi yang berkepanjangan karena kehilangan saat-saat menyenangkan di masa remajanya, yang seharusnya bisa dinikmati dengan belajar, bermain dan beraktivitas lainnya," kata ia kepada Tempo.co, Selasa 18 Februari 2020.
Perawatan fisik yang harus dilalui, bisa membuat anak menjadi bosan, frustrasi, stres dan depresi. Anak juga merasa tidak berdaya, tidak berharga serta kehilangan kepercayaan diri. Dalam kondisi yang berat, trauma fisik juga bisa menimbulkan trauma psikologis yang berat pula. "Apalagi jika mereka harus kehilangan waktu untuk bersekolah dan menjalankan hobinya. Ini akan menimbulkan kekecewaan yang mendalam." tukas ia.
Selain itu, korban Skull Breaker Challenge bisa juga merasakan seperti yang dialami oleh korban bullying. Mereka merasa gelisah, tertekan, depresi, dan juga berisiko bunuh diri.
"Satu hal yang paling penting yang harus dilakukan beriringan dengan pengobatan fisik adalah memberikan pendampingan intensif kepada korban. Anak perlu mendapat kekuatan psikologis agar tidak merasa down, kecewa, dan sedih berkepanjangan," tambah Anisa.
Orang tua, guru, teman-teman dan orang-orang terdekat diharapkan bisa membesarkan hatinya, agar kepercayaan dan harga dirinya tetap terjaga dalam proses pengobatan hingga kembali beraktivitas. Jika diperlukan, pendampingan oleh psikolog atau psikiater bisa disiapkan untuk mengantisipasi hal-hal yang lebih buruk.
"Juga tidak boleh dilupakan, tentang pendampingan terhadap orang tua korban. Bisa jadi, yang mengalami dampak psikologis bukan hanya si korban, tapi juga orang tuanya. Tidak mudah bagi orang tua ketika menghadapi kenyataan ini," ucap Anisa.
Anisa menyarankan, karena dampaknya yang cukup berat, baik fisik maupun psikologis, maka hal ini harus dicegah jangan sampai meluas di kalangan anak-anak. Orang tua perlu mengingatkan anak agar tidak ikut-ikutan melakukan hal ini, dan menyadarkan bahwa permainan ini sangat berbahaya bagi diri sendiri maupun orang lain.
"Pihak sekolah juga perlu terus menerus mengimbau dan memberikan pengawasan yang ketat di dalam kelas maupun ruang-ruang bermain. Bagi pemerintah dan semua pihak perlu juga menyuarakan hal ini di berbagai media, untuk memberikan pemahaman dan awareness tentang betapa bahayanya permainan ini," saran Anisa.
EKA WAHYU PRAMITA