CANTIKA.COM, Jakarta - Shinta Aprilia punya bisnis berjualan aneka produk busana dengan cara unik. Alih-alih memiliki butik dan melayani langsung para pelanggannya, perempuan 30 tahun yang tinggal di Yogyakarta ini hanya membutuhkan ponsel dan Internet untuk bertransaksi. Barang-barang yang dijualnya pun tak pernah ia sentuh.
Produk baju, jaket, atau luaran wanita yang dijual lewat akun Instagram @jastipemak_ miliknya dikirim ke pemesan lewat teman-temannya yang berada di Bandung dan Jakarta. “Kami bagi tugas, saya yang mengurusi pembeli, teman-teman yang mengambil barang dari toko dan mengirim ke konsumen,” ujarnya.
Akun itu didirikan Shinta pada awal 2019. Meski pengikutnya belum lebih dari seribu, akun yang ia buat khusus untuk berjualan ala “jasa titip” alias jastip ini punya ratusan konsumen loyal. Shinta memang tak sembarangan menjual produk. Ia hanya memasarkan aneka produk busana keluaran merek-merek dan desainer lokal yang eksklusif dan terbatas. Sering kali busana yang dijual itu sedang ngetren di kalangan perempuan berusia 20-40 tahunan.
Beberapa merek yang sering dipasarkan antara lain Kamima, Nadjani, Ema Daily, dan Wearing Klamby. Merek-merek itu bukanlah produsen busana massal, melainkan pakaian yang dijual dalam jumlah sedikit dengan bentuk dan model yang punya ciri khas masing-masing. Bahkan, kata Shinta, beberapa merek ada yang setiap hari mengeluarkan produk berbeda satu sama lain. “Makanya, baju-bajunya sering jadi rebutan.”
Nah, bagi konsumen yang malas ke butik atau bazar tempat merek-merek itu biasa dipasarkan, Shinta dan kawan-kawan menjadi perpanjangan tangan mereka. “Kami yang datang ke toko atau pameran, memilihkan barangnya, membayarnya, lalu mengirimnya ke pemesan.” Tak jarang, Shinta menambahkan, karena produk yang dijual toko begitu terbatas, di lokasi bazar tim mereka berebut dengan pembeli lain. “Dorong-dorongan sampai cakar-cakaran demi mendapatkan baju pesanan itu sudah biasa,” dia berseloroh.
Kejelian melihat tren dan peluang adalah modal memulai usaha ini. Ia sendiri terinspirasi menjadi pelaku jastip untuk produk butik lokal karena melihat tren perempuan masa kini yang mulai gemar membeli produk-produk desainer dalam negeri. “Termasuk saya sendiri,” ujarnya.
Shinta pernah menjadi konsumen setia usaha jastip milik orang lain. “Daripada cuma belanja menghabiskan uang, mendingan sekalian jualan.” Kini konsumen loyal Shinta tersebar di Jawa, Sumatera, hingga Pulau Natuna.
Usaha jasa titip, alias jastip, yang dijalankan Shinta sudah populer beberapa tahun lalu di Instagram. Model usaha ini dimulai dari para pelancong asal Tanah Air yang sedang berlibur di luar negeri. Di akun Instagram mereka, selain mengunggah foto-foto liburan, mereka membuat pengumuman jastip.
Biasanya para pelancong akan menentukan toko atau produk khas setempat apa yang akan mereka beli. Pengguna Instagram lain yang berminat bisa memesan langsung ke mereka. Bisnis ini lumayan menguntungkan, karena pelaku jastip akan menjual barang pesanan dengan harga sedikit lebih mahal sebagai upah atas jerih payah mereka berbelanja dan membawa barangnya ke Tanah Air.
Tapi, setahun terakhir, usaha jastip barang-barang asal luar negeri mulai “tiarap” gara-gara semakin ketatnya aturan bea dan cukai.
Pada Oktober 2019, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI memperketat pengawasan terhadap model usaha semacam ini. Para pelaku jastip luar negeri dibatasi dengan aturan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 203/PMK.04/2017 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, Pelintas Batas, dan Barang Kiriman.
Dalam aturan ini, batas barang bawaan yang dibeli dari luar negeri tanpa dikenai pajak adalah USD 500 per orang. Jika melewati batas itu, kelebihannya dihitung sebagai barang kena pajak.
Toh, peluang usaha jastip ini memang menggiurkan, apalagi tak perlu modal banyak untuk memulainya.
Aneka barang yang bisa di-jastip-kan di dalam negeri disambar oleh mereka yang jeli melihat peluang. Selain orang-orang seperti Shinta yang melirik tren busana eksklusif, ada yang memanfaatkan pameran atau bazar produk-produk murah. Salah satu acara yang banyak diserbu pelaku jastip adalah bazar buku tahunan Big Bad Wolf, yang biasa digelar setiap awal Maret di BSD, Tangerang Selatan.
Salah satu pelaku jastip buku di perhelatan itu adalah Dien Nurdini asal Bogor. Dien menjalankan usaha bernama Jastip Santai ini bersama sejumlah teman semasa SMA-nya. “Kami hanya membuka jastip ketika ada Big Bad Wolf. Di hari biasa sih kembali jadi ibu rumah tangga,” kata perempuan yang akrab disapa Adien itu.
Usaha Jastip Santai oleh Adien dan teman-temannya dimulai empat tahun lalu. Sama seperti Shinta, Adien juga terilhami membuka jastip setelah puas memenuhi hasrat belanjanya. Mulanya, Adien dan kelima temannya memulai jastip setelah banyak dari teman mereka sendiri ingin membeli buku di Big Bad Wolf tapi tak punya waktu untuk datang ke lokasi bazar. “Karena jauh di BSD, belum tentu orang bisa ke sana.” Mereka lalu membuka jastip dengan berpromosi di akun media sosial masing-masing. Rupanya, promosi itu menyebar luas sehingga banyak orang lain yang ikut mendaftar sebagai pemesan buku.
Jastip Santai menerapkan sistem belanja yang unik. Awalnya, calon pembeli diminta mengisi formulir berisi data diri, alamat, dan nomor kontak. Para pembeli diundang untuk bergabung dalam satu grup percakapan WhatsApp di mana Adien dan kawan-kawannya juga terlibat. Karena pameran Big Bad Wolf digelar berhari-hari, Adien dan teman-temannya datang bergiliran ke lokasi.
Sebelum tiba di lokasi, orang yang “bertugas” berbelanja membuat pengumuman bahwa mereka akan ada di lokasi pada waktu yang ditentukan. Barulah, di tempat pameran buku, mereka menggunakan fitur video siaran langsung di WhatsApp atau Instagram untuk memperlihatkan buku-buku apa saja yang bisa dipesan konsumen. Di grup WhatsApp itulah semua pesanan dan transaksi dicatat.
Menurut perempuan 32 tahun ini, yang paling laris dari perhelatan Big Bad Wolf adalah buku anak-anak. Tapi, karena stok bukunya kerap berganti-ganti setiap hari, tak jarang Adien dan teman-teman bisa bolak-balik ke BSD untuk memenuhi pesanan konsumen. Terkadang mereka juga mengadakan sesi pemesanan buku berdasarkan topik. Misalnya, kata Adien, ada sesi pemesanan khusus buku psikologi, lalu di hari berikutnya rekan Adien yang lain membuka sesi pemesanan khusus buku kerajinan atau buku resep memasak.
Jika ditotal, dalam satu kali datang ke lokasi pameran, Adien bisa mendapat keuntungan bersih Rp 500 ribu-Rp 1 juta dari transaksi pembelian buku sekitar Rp 10 juta. “Sehari kami bisa beli ratusan eksemplar buku. Untung ada suami kami yang sigap membantu membawakan barang-barang pesanan,” ujarnya. Karena jumlah transaksi yang tinggi, Adien sering mendapat keuntungan tambahan dari penyelenggara Big Bad Wolf. “Misalnya dapat voucher belanja.”
Bagi Adien, model usaha ini banyak menghasilkan keuntungan. “Bukan cuma untung secara uang, tapi hasrat untuk berbelanja tanpa keluar banyak uang juga terpenuhi,” kata dia. Peluang usaha jastip tak hanya dari acara bazar atau pada penjualan produk tertentu yang eksklusif. Barang sehari-hari yang dijual di toko dan mal, seperti kosmetik, produk perawatan tubuh, sampai aksesori rumah tangga dan alat tulis, juga bisa “di-jastip-kan”.
Salah satu pelakunya adalah Aisyah Putri, 25 tahun. Perempuan kelahiran Gresik, Jawa Timur, yang sudah lama tinggal di Jakarta ini kerap membuka jastip barang-barang biasa seperti itu untuk dijual kembali ke pemesan yang berada di luar kota. Biasanya, kata Putri, barang yang dicari adalah produk suatu toko atau merek yang baru keluar di Jakarta dan belum ada di daerah lain. “Misalnya kayak waktu Miniso (toko aksesori bergaya Jepang) baru buka di Jakarta,” ujarnya. Putri pun kebanjiran order dari pemesan di kota lain. Pelanggannya mau membayar lebih mahal plus ongkos kirim. “Produk yang laku paling banyak kosmetik, tas, dan perintilan cewek.”
Yang unik, pekan lalu, Putri baru saja menjual berkardus-kardus kopi instan saset dari salah satu merek yang baru diluncurkan. Ceritanya, produsen kopi instan ini menggunakan Lucas Wong Yuk-hei, salah satu anggota boy band asal Korea, NCT, sebagai model iklan mereka. Nah, dalam paket kopi yang dijual, produsen juga memberikan bonus berupa kartu bergambar foto Lucas. “Penggemar NCT sangat memburu kopi ini, sampai nyari di mana-mana susah, karena memang produk baru, belum banyak beredar,” kata Putri.
Untungnya, Putri punya teman yang bekerja di pabrik pembuat kopi itu. “Kebetulan pabrik kopi itu ada di Jawa Timur.” Jadilah melalui temannya, Putri membeli berkardus-kardus kopi saset dengan bonus foto Lucas tersebut. Per bungkus kopi, yang dari pabriknya hanya seharga Rp 4.900, bisa dijual Putri seharga Rp 13 ribu.
Bahkan Putri bisa menjual kopi ini kepada sejumlah fan NCT yang berada di Korea. “Harga jualnya, kalau dirupiahkan, bisa Rp 70 ribu per bungkus, di luar ongkos kirim.” Artinya, keuntungan dari kopi yang dijual ke penggemar NCT di luar negeri lebih dari 1.400 persen.
Putri memang memiliki jaringan penggemar grup-grup musik Korean pop (K-Pop) hingga Negeri Ginseng. “Orang kalau sudah tergila-gila, harga berapa pun dibeli. Padahal mereka sendiri tahu harga aslinya.”