CANTIKA.COM, JAKARTA - Belum lama ini, aktris Syifa Hadju mendapat ancaman dan pelecehan verbal lewat direct message di Instagram. Pemilik nama lengkap Syifa Safira Nuraisah bertindak cepat dengan melaporkan hal tersebut kepada Polres Tangerang Selatan, pada 28 Februari 2020.
"Pelaku yang berinisial HA mengirimkan kata-kata lewat direct message dengan muatan keasusilaan dan pengancaman," kata Kapolres Tangerang Selatan Ajun Komisaris Besar Iman Setiawan, Senin, 2 Maret 2020.
Polisi sudah menangkap pelaku yang juga fans Syifa Hadju tersebut. Motif serta alasannya mengirim pesan tersebut terus didalami.
Menanggapi kasus ancaman via media sosial yang dialami perempuan 19 tahun ini, Psikolog Anisa Cahya Ningrum mengatakan jika pelecehan ini intensitasnya cukup kuat diikuti frekuensi yang tinggi pula, maka anak bisa mengalami trauma secara psikologis.
"Gejala yang muncul bisa berupa kecemasan atau juga depresi. Anak jadi takut setiap kali membuka ponsel, atau membuka media sosial. Anak mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain, baik di dunia maya maupun nyata," ucapnya saat dihubungi Tempo.co, Selasa, 3 Maret 2020.
Menurut Anisa, anak bisa memiliki ketakutan dan memiliki pandangan negatif terhadap aktivitas seksual, sehingga kelak bisa merasa tidak nyaman dalam menjalin keintiman dengan orang lain.
"Namun jika trauma ini tidak terlalu kuat, anak bisa beraktivitas lagi dengan baik dan normal, dengan pendampingan dari orang tua dan tenaga profesional," lanjutnya.
Untuk itu, Anisa menilai perlu ada pendampingan orang tua pada anak yang mengalami ancaman dan pelecehan verbal di media sosial, agar tidak trauma:
1. Orang tua perlu memastikan bahwa anaknya dalam keadaan tenang dan tidak mengalami kecemasan berlebihan.
2. Jika anak masih terlihat ketakutan, gemetar, dan berdebar-debar, maka diperlukan konsultasi dengan psikolog atau psikiater.
3. Untuk sementara, anak perlu dijauhkan dari perangkat yang dipakai untuk terhubung dengan media sosial, yaitu laptop atau ponsel.
4. Orang tua perlu menindaklanjuti secara hukum, jika memang dirasa sangat merugikan bagi anak dan keluarga.
5. Orang tua perlu memberi keyakinan, bahwa hal ini bisa diselesaikan dan anak dibimbing untuk mulai belajar mengabaikan hal-hal yang tidak perlu dipikirkan.
6. Ajarkan kepada anak untuk segera melapor, jika ada pihak-pihak yang melakukan hal yang tidak senonoh, baik verbal maupun nonverbal.
7. Anak perlu diberi aktivitas lain agar pikirannya segera teralihkan. Contohnya, kegiatan yang lebih positif seperti berolahraga ataupun pergi berlibur.
8. Orang tua perlu berinteraksi dengan sahabat-sahabat anak. Tujuannya meminta mereka untuk berkunjung ke rumah atau sekadar menghibur agar anak tidak merasa sendirian.
9. Jika sudah berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater, orang tua bisa membantu anak-anak me-release ketakutannya sesuai dengan arahan tenaga profesional tersebut.
EKA WAHYU PRAMITA | MUHAMMAD KURNIANTO (KONTRIBUTOR)