CANTIKA.COM, Jakarta - Menjadi ekonom awalnya tak ada dalam daftar cita-cita Mari Elka Pangestu saat remaja. Dia berangan-angan menjadi dokter sejak duduk di sekolah menengah atas di Australia.
Mari Elka Pangestu kemudian diterima di jurusan kedokteran Australian National University. Tapi, baru kuliah di tingkat pertama, Mari mengurungkan angannya menjadi dokter. "Saya takut darah," ujarnya. Mengikuti jejak ayahnya, Pang Lay Kim yang seorang ekonom, Mari memutar haluan ke jurusan ekonomi.
Dia banyak mengambil kelas tentang pembangunan ekonomi dan jatuh cinta pada ilmu tersebut. "Ilmu ekonomi itu ternyata bisa digunakan untuk membangun suatu negara, terutama negara yang miskin dan berkembang, seperti Indonesia," tuturnya.
Mari Elka Pangestu lalu mengambil program magister di universitas yang sama, berfokus pada ekonomi makro, ekonomi mikro, perdagangan internasional, dan pembangunan ekonomi. Kemudian ia menempuh pendidikan doktoralnya di University of California, berfokus pada keuangan dan perdagangan internasional serta ekonomi moneter.
Mari menyelesaikan program doktoral saat usianya baru 30 tahun. Ketika ayahnya memintanya pulang, Mari Elka Pangestu menurut. Dia bergabung dengan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), tempat sang ayah bekerja. Pang Lay Kim menjadi anggota dewan direktur di lembaga penelitian tersebut.
Mari Elka Pangestu.ANTARA/Muhammad Adimaja
Salah seorang pendiri CSIS, Jusuf Wanandi, ingat, ketika baru datang, Mari lebih fasih berbahasa Inggris ketimbang Indonesia. Namun dia cepat menyesuaikan diri. Pendidikan di luar negeri juga membuat Mari Elka Pangestu sangat terbuka serta tak ragu menyampaikan pendapat dan kritik. "Dia berani," kata Jusuf Wanandi.
Kebiasaan tersebut rupanya tak terlalu diterima ketika Mari menjadi dosen di Universitas Indonesia. Para pengajar lain jengah karena diberi masukan oleh orang yang lebih muda dan dengan blak-blakan. Untungnya, Mari punya senior yang bersedia membimbingnya. Salah satunya Mohammad Sadli, yang juga lulusan University of California.
Mohammad Sadli sering meminta Mari mengikuti seminar dan mengamati cara Mari menyampaikan pendapat. Kalau merasa ada yang kurang tepat, Sadli biasanya akan menegur. Mari dilarang langsung mengatakan bahwa pendapat pembicara salah. "Ngomongnya harus, ‘Presentasi Bapak bagus, tapi apakah mungkin bisa dipikirkan untuk mencoba dengan metode ini atau dengan angka ini?'," kata Mari menirukan Sadli.
Mari menjadi dosen di Universitas Indonesia sampai 1999. Ia kemudian menemani suaminya, Adi Harsono, yang ditugaskan ke luar negeri. Adi bekerja di perusahaan minyak dan gas internasional, Schlumberger. Pada 2004, Mari dipanggil pulang. Presiden Yudhoyono kala itu menunjuknya memimpin Kementerian Perdagangan, kementerian baru hasil pemisahan Departemen Perindustrian dan Perdagangan. "Sejak dulu Mari dekat dengan banyak pemimpin, termasuk SBY," ucap Jusuf Wanandi.
Baca: Mari Elka Pangestu Punya Cita-cita yang Ditentang Sang Ayah
Mari Elka Pangestu. Dok TEMPO/Jacky Rachmansyah
Setelah tak menjabat menteri, Mari kembali ke CSIS dan mengajar di Universitas Indonesia. Ia juga banyak terlibat di lembaga nasional dan internasional. Jusuf Wanandi, yang juga menjadi pembina Yayasan Prasetiya Mulya, mengajaknya mengajar di kampus itu. Jusuf dan Rektor Prasetiya Mulya Djisman Simandjuntak mempersiapkan Mari sebagai pengganti Djisman. "Semestinya diangkat Maret nanti," ucap Jusuf.
Hanya saja, panggilan dari Bank Dunia membelokkan rencana mereka. Baik Jusuf maupun Djisman mendorong Mari berangkat ke organisasi internasional tersebut. Menurut Jusuf, ilmu yang didapat Mari Elka Pangestu di sana akan berguna untuk mengembangkan universitas. "Saya bilang ke dia, 'Tiga tahun saja, ya, di sana'," katanya.
Sejatinya, Mari memang sudah lama mendamba bekerja di Bank Dunia. Setelah menempuh pendidikan doktoral di University of California, Davis, Amerika Serikat, pada 1986, perempuan 63 tahun ini ingin sekali berkiprah di Bank Dunia. Dan cita-cita itu kini menjadi kenyataan. Mulai 1 Maret 2020, Mari Elka Pangestu menjabat sebagai Direktur Pelaksana Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan Bank Dunia.
NUR ALFIYAH | FRANSISCA CHRISTY ROSANA