CANTIKA.COM, Jakarta - Wabah corona membuat orang merasa cemas. Mereka khawatir tertular virus yang satu-satunya penangkal saat ini adalah daya tahan tubuh kita sendiri. Hanya saja, kecemasan yang berlebihan justru akan membuat imunitas tubuh menurun.
Ada orang merasa demam begitu membaca informasi yang berseliweran tentang virus corona dan dampaknya. Ada juga yang merasa seluruh badannya lengket dan berpikir bakal dikerubuti virus setelah keluar rumah.
Beragam rekasi lain, seperti tenggorokan gatal dan nyeri, sakit perut, jantung berdebar, hidung gatal, bersin-bersin, sampai sesak napas, juga dirasakan oleh sebagian orang setelah mengetahui informasi tentang corona. Semua reaksi itu disebut dengan psikosomatik.
Psikiatri di Rumah Sakit Omni Alam Sutera, Tangerang, Andri mengatakan reaksi psikosomatik itu wajar terjadi di masa wabah corona ini. "Tiba-tiba kita merasa tenggorokan agak gatal, nyeri dan merasa agak sedikit meriang walaupun suhu tubuh normal. Itu Wajar. Reaksi psikosomatik saat ini memang terasa," demikian Andri menulis di Twitter.
Dia menjelaskan, reaksi ini salah satunya dipicu oleh kecemasan akibat bombardir informasi. Andri banyak menerima keluhan jantung berdebar-debar, merasa napas jadi pendek, keluar keringat dingin, dan lambung tidak enak. Karena mirip gejala corona, seseorang menjadi cemas. Padahal, jika dilihat dari kondisinya, tak ada demam, sesak napas hanya 1-2 menit, dan bukan mengarah pada kondisi corona. Beberapa pasien lama yang punya riwayat gangguan kecemasan juga kembali kambuh dengan kondisi ini.
Menurut Andri, hal ini disebabkan oleh amygdala atau pusat rasa cemas sekaligus memori kita terlalu aktif bekerja. Akhirnya kadang kita tidak sanggup mengatasi kerja berat itu. Amygdala yang bekerja berlebihan juga mengaktifkan sistem saraf otonom secara berlebihan, sehingga seseorang menjadi selalu dalam kondisi fight atau flight alias siaga terus-menerus. "Ketidakseimbangan ini yang membuat gejala psikosomatik muncul sebagai suatu reaksi untuk siap siaga menghadapi ancaman."
Ilustrasi stres/bingung. Shutterstock.com
Hersa Aranti, pemberi layanan kesehatan mental Sadari, mengatakan selama wabah ini dia juga banyak menangani masalah yang berkaitan dengan kecemasan berlebihan semacam itu. Umumnya, mereka mengeluh stres karena perubahan rutinitas yang signifikan semasa wabah ini dan cemas akan kesehatan sendiri maupun orang yang mereka disayangi.
Mereka juga berpikir berlebihan sehingga mengganggu aktivitas harian dan suasana hati. Biasanya mereka mencari berita dan informasi sebanyak-banyaknya tentang wabah, tapi kurang bisa mengolah informasi dengan bijak dan percaya hoaks. Karena itu, Hersa Aranti menyarankan agar kita bisa mengelola rasa cemas dengan bijak.
Hersa menambahkan, pada tingkat tertentu gangguan kecemasan bisa membuat seseorang berjaga-jaga sehingga menjadi adaptif dan bisa mengantisipasi segala sesuatu. Misalnya, mengikuti semua anjuran, mengembangkan hidup sehat, bersih, dan tidak melakukan sesuatu secara berlebihan (misalnya tidak panic buying dan menimbun).
Kecemasan sangat rendah sehingga menjadi abai juga tidak bagus. Sebaliknya, jika cemas berlebihan, sedikit-sedikit ketakutan, bisa menjadi masalah kesehatan mental. "Intinya, waspada, bukan panik. Tapi reaksi cemas, termasuk kecemasan tinggi, adalah reaksi yang dapat dipahami seperti saat ini. Butuh adaptasi dan proses," ujarnya.
Baik Andri maupun Hersa menyarankan untuk menjauhi sumber pemicu kecemasan dan stres. Misalnya, mengurangi akses terhadap berita negatif, grup pesan, dan tak terlalu banyak berselancar di dunia maya. Lakukan relaksasi dan aktivitas lain yang menyenangkan serta mempunyai rutinitas sehat, seperti bangun pagi, olahraga, makan makanan sehat, dan tidur cukup.
Pada waktu senggang, kita bisa melakukan aktivitas positif bersama keluarga. Misalnya, memasak, berkebun, membaca buku, bermain game, video call, berkaraoke, menonton film di rumah, mewarnai, berolahraga, yoga, dan mendekorasi ruangan atau rumah.