CANTIKA.COM, Jakarta - Sejumlah ilmuwan memiliki perbedaan pendapat ihwal apakah virus corona baru atau COVID-19 dapat menyebar melalui udara.
Sebagian ahli berpendapat virus corona tak menyebar lewat aerosol atau artikel padat atau cair yang menggantung di udara. Mereka beranggapan virus corona menyebar melalui percik atau droplet dari lendir tubuh manusia yang keluar misalnya saat bersin dan batuk. Sementara sebagian ahli berpendapat virus corona ini menyebar melalui udara.
Muncul juga anggapan virus corona akan mati jika terpapar panas. Sesuai siklus iklim tahunan di Indonesia, bulan April adalah waktu masuk musim kemarau. Dengan begitu, virus tersebut akan mati karena kondisi lingkungan yang panas.
Apakah dua pendapat itu benar atau keliru? Sebuah penelitian yang dipublikasikan pada pertengahan Maret 2020 dalam New England Journal of Medicine, mencoba memberikan jawaban.
- Virus corona menyebar di udara Vs Virus Corona tidak menyebar di udara
Penelitian yang dipublikasikan di New England Journal of Medicine itu adalah hasil studi kolaborasi antara National Institutes of Health (NIH); University of California, Los Angeles (UCLA); Princeton University; dan Centers for Disease Control and Prevention, Amerika Serikat. Para peneliti menyatakan virus corona penyebab COVID-19 mampu bertahan lama di luar sel inang.
Artinya, virus SARS-CoV-2 bisa bertahan di permukaan benda lebih dari sehari dan terdeteksi juga di dalam aerosol hingga beberapa jam. Penelitian ini mendadak menimbulkan kontroversi karena sebagian ilmuwan menganggap ada informasi yang bisa menyesatkan, yakni pernyataan bahwa orang dapat terinfeksi virus corona melalui udara.
"Hasil studi kami mengindikasikan bahwa penularan aerosol dan benda mati virus SARS-CoV-2 ini masuk akal karena virus dapat bertahan hidup dan bersifat menular dalam waktu beberapa jam di dalam aerosol dan beberapa hari pada permukaan benda," demikian tulisan para peneliti di makalah.
Perlu diketahui, sekali batuk atau bersin, seseorang menghasilkan ribuan droplet atau partikel halur air. Droplet dapat mendarat pada orang lain, pakaian, atau permukaan benda, tapi partikel-partikel yang lebih halus bisa mengambang di udara. Dengan begitu, virus tetap dapat menginfeksi orang setidaknya selama tiga jam ketika mengalami proses aerosol atau menjadi partikel halus yang mengambang.
Baca juga:
Selain Batuk dan Bersin, Ada Lagi Perilaku Penularan Virus CoronaPemimpin studi ini, Neeltje van Doremalen dari NIH, dalam rilis media pada Selasa, 17 Maret 2020, menegaskan, "orang bisa terkena virus melalui udara dan dengan menyentuh objek yang terkontaminasi." Berdasarkan penelitian Van Doremalen dan tim, virus terdeteksi hingga tiga jam di dalam aerosol, lebih dari empat jam di permukaan tembaga, lebih dari 24 jam di permukaan kertas kardus, serta sampai dua-tiga hari di permukaan plastik dan logam antikarat.
Anggota tim peneliti lainnya, James Lloyd-Smith, mengingatkan bahwa virus SARS-CoV-2 adalah patogen yang sangat sukar ditahan karena sungguh mudah menular melalui kontak sepintas saja. "Jika Anda menyentuh sesuatu yang telah dipegang orang lain, berhati-hatilah, mungkin saja itu sudah terkontaminasi dan cucilah tangan Anda," tutur profesor ekologi dan biologi evolusi UCLA tersebut.
IklanScroll Untuk MelanjutkanLantas bagaimana mengetahui apakah virus corona benar-benar mati dalam suhu panas. Berikut penelitian lebih dalam yang dilakukan oleh James Lloyd-Smith.
- Virus corona mati dalam suhu panas? Benarkah kita akan terbebas dari virus corona saat musim kemarau?Profesor ekologi dan biologi evolusi UCLA, Lloyd-Smith dan koleganya yang tergabung dalam penelitian kolaborasi tadi, meniru perilaku virus yang mengendap di permukaan objek di rumah sakit atau perabot rumah. Virus tersebut mengendap di permukaan objek karena orang yang terinfeksi batuk atau bersin di dekat objek tersebut atau menyentuhnya.
Para peneliti lalu menyelidiki berapa lama virus yang memiliki sifat menular itu bisa bertahan di permukaan objek. Untuk meniru batuk manusia itu, peneliti menggunakan collision nebulizer —alat penghasil aerosol dari pasokan cairan. Aerosol berdiameter kurang dari 5 mikron itu mengandung virus SARS-CoV-2 dengan kuantifikasi 105,25 50 persen tissue-culture-infectious-dose (TCID50) per mililiter. Peneliti menemukan virus tersebut dapat bertahan di dalam aerosol selama tiga jam, dengan suhu udara 21-23 derajat Celsius dan kelembapan relatif 65 persen.
Dalam percobaan lain, peneliti mengendapkan masing-masing 50 mikroliter virus ke permukaan plastik, logam antikarat, tembaga, dan kertas kardus dengan kondisi kelembapan relatif 40 persen dan suhu udara 21-23 derajat Celsius. Studi ini terutama menyelidiki laju hancurnya virus dalam beragam kondisi lingkungan. Kecepatan hancur itu dikenal dengan istilah half-life, yakni jumlah waktu yang dibutuhkan bagi 50 persen partikel virus untuk mati.
Peneliti menemukan half-life rata-rata virus di permukaan tembaga adalah 46 menit, di kardus 3 jam 60 menit, di logam antikarat 5 jam 38 menit, dan di plastik 6 jam 49 menit. Meskipun di permukaan logam antikarat dan plastik masih terdeteksi selama tiga hari, sebetulnya virus telah mati. "Temuan tersebut dapat diartikan, setelah jangka waktu tersebut, virus menjadi ‘mati’," kata ahli virologi dan pengajar bioteknologi dan ilmu saraf di Surya University, Tangerang, Banten, Sidrotun Naim.
Menurut dia, virus hanya hidup di sel inang, tapi dapat bertahan tanpa inang dalam jangka waktu tertentu. Daya tahan virus di luar inang, Sidrotun menjelaskan, dipengaruhi oleh suhu, kelembapan, dan pori permukaan. Karena itulah daya tahan virus di permukaan plastik akan lebih lama ketimbang di permukaan kardus. "Secara umum, virus lebih tahan dalam suhu yang lebih rendah dan kelembapan lebih tinggi," ujar analis kebijakan pada Indonesia Strategic Institute, Bandung, itu.
Ihwal virus tidak tahan suhu panas dan tingkat kelembapan tinggi, Sidrotun mengatakan hal itu telah dibuktikan oleh Kwok-Hung Chan dari University of Hong Kong pada 2011. Chan meneliti virus SARS-CoV pemicu sindrom pernapasan akut parah, yang dapat bertahan selama lima hari pada suhu 22-25 derajat Celsius dan kelembapan 40-50 persen. "Saat suhu dinaikkan ke 38 derajat Celsius dengan kelembapan di atas 95 persen, viabilitasnya menurun sebesar 3 log (1.000 kali lebih rendah)," ucap Sidrotun.
Sidrotun mengaku belum mengetahui apakah SARS-CoV-2 memiliki perilaku yang sama dengan SARS-CoV. Namun bagi Indonesia, kata dia, suhu tropis dan tingkat kelembapan tinggi sangat membantu sehingga perilaku virus tidak seperti di Cina, Eropa, atau Amerika Serikat. "Kalau Indonesia lebih dingin dan lebih kering, bisa jadi jumlah kasus dan fatalitas lebih tinggi dari yang sekarang," tutur Sidrotun, yang meraih gelar doktor environmental microbilogy di University of Arizona, Amerika Serikat, pada 2012.
DODY HIDAYAT | NEW ENGLAND JOURNAL OF MEDICINE | UCLA | PUBLIC HEALTH ONTARIO | NEWATLAS | CNBC | GRAPHIC NEWS | CDC | REUTERS