CANTIKA.COM, Jakarta - Sejak pandemi Covid-19, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Komnas Perempuan mencatat peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 75 persen. Kenaikan ini dipicu oleh stres, terganggunya jejaring perlindungan dan sosial, hilangnya pendapatan, serta menurunnya akses ke layanan publik.
Menurut Kepala Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta, Tuty Kusumawati, jika ada 19 perempuan berusia 16-64 tahun, satu dari jumlah tersebut mengalami kekerasan. Angka itu cukup besar untuk jumlah penduduk di ibu kota.
"Data yang dikumpulkan dari 29 Februari hingga 5 Juni terdapat 710 kasus kekerasan, sebanyak 465 korban menunjukkan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Bentuk kekerasan yang banyak terjadi ialah fisik paling tinggi, psikis, seksual, dan penelantaran," ungkap Tuty dalam Media Briefing "AXA Mandiri & AXA Mendukung Perempuan Indonesia Melalui Program Aman untuk Semua" pada Rabu, 10 Juni 2020.
Jika merujuk survei yang dilakukan Dinas PPAPP terdapat 1 dari 3 perempuan di Indonesia mengalami kekerasan. Sementara, pada anak perempuan terjadi pada 2 dari 3 anak atau 60 persennya.
Begitu juga dengan kekerasan seksual terutama lewat media internet, yang jumlahnya meningkat menduduki nomor dua setelah KDRT. Merujuk data LBH APIK rata-rata per bulan ada 30 kasus yang diterima. Tapi dalam kondisi pandemi sejak Maret hingga 7 Juni, LBH Apik menerima laporan di atas 90 kasus terhadap perempuan.
Kasus yang paling tinggi ialah kekerasan dalam rumah tangga, kemudian yang kedua kekerasan berbasis online dari foto dan video intim yang dimiliki para pelaku.
"Modusnya berupa ancaman, eksploitasi seksual diajak berhubungan seks termasuk lewat virtual, jika tidak foto intim perempuan akan disebarkan, atau ada juga yang modus memeras minta uang. Biasanya pelaku memakai fake account atau justru orang terdekat korban," tutur Direktur LBH APIK, Siti Mazumah.
Kasus yang masuk kebanyakan setelah perempuan menjadi korban berulang kali. Mereka baru melapor ketika sudah tidak tahan lagi.
Alasannya, banyak perempuan menganggap kekerasan seksual berbasis online bukan wujud kekerasan karena medianya yanng tidak langsung. Padahal itu terjadi secara nyata.
EKA WAHYU PRAMITA