CANTIKA.COM, JAKARTA - Saat Pandemi Covid-19, hidup menjadi lebih sulit, kesehatan terancam, dan ekonomi terhimpit. Hal itu membuat beban rumah tangga semakin berlapis, rasa takut, stres, frustrasi juga kian tinggi. Perempuan pun menjadi lebih rentan alami kekerasan, termasuk Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT.
Berkaca dari data Komnas Perempuan menunjukkan kekerasan domestik meningkat hingga 75 persen. Berdasarkan data Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Komnas Perempuan, kasus KDRT meningkat hingga 75 persen. Kenaikan ini dipicu oleh stres, terganggunya jejaring perlindungan dan sosial, hilangnya pendapatan, dan menurunnya akses ke layanan publik.
Data yang dikumpulkan dari 29 Februari hingga 5 Juni terdapat 710 kasus kekerasan, sebanyak 465 korban menunjukkan KDRT. Bentuk kekerasan yang banyak terjadi ialah fisik paling tinggi, psikis, seksual, dan penelantaran.
Menurut pemerhati isu perempuan dan Konsultan The Centre of Child and Corporate Social Responsibility (CCR CSR), Reni Oktari, soal kekerasan dalam perempuan, jauh sebelum pandemi Covid-19 sudah menunjukkan angka yang tinggi. Ditambah pula dengan kondisi di rumah saja, membuat perempuan rentan menjadi korban kekerasan.
"Beban yang dialami perempuan di rumah semakin berlapis, atau UN Women menyebutnya dengan shadow pandemic yang menjadi perhatian global. Banyak kasus yang saya perhatikan di Indonesia, suami melakukan kekerasan yang salah satunya ditenggarai faktor ekonomi," katanya dalam Bincang Kulinerita pada Sabtu, 4 Juli 2020.
Ada dua kondisi selama pandemi yang membuat perempuan rentan alami kekerasan, yakni terperangkap di dalam rumah dan keterbatasan akses pihak yang bisa menolong karena tidak bisa ke mana-mana.
"Terlebih bagi perempuan yang kondisi sebelum pandemi juga sudah mengalami kekerasan, tidak terbayang yang ia terima selama 24 jam bertemu suami," ucapnya.
Ia menyarankan jika menjadi korban di dalam rumah dan tidak bisa ke mana-mana, maka perempuan bisa memberikan sinyal khusus merujuk pada Canadian Women's Foundation.
"Caranya jika perempuan sedang melakukan komunikasi video call dengan teman, maka bisa memberikan sinyal tangan. Tunjukkan telapak tangan ke arah kamera dengan ibu jari dilipat ke depan telapak tangan. Lalu kepalkan tangan di mana ibu jari tampak seperti terjebak di antara keempat jari lainnya," jelasnya.
Menurut perempuan 28 tahun ini, terdapat tiga cara untuk mencegah kekerasan pada perempuan, yaitu edukasi, payung hukum, menyediakan diri untuk membantu.
Pertama, melalui edukasi yang bisa dimulai dari rumah bagaimana orang tua sudah mengenalkan pada anak efek kekerasan. Tidak hanya mencegah menjadi korban tetapi juga jadi pelaku, karena banyak kasus.
Kemudian untuk persoalan payung hukum, Reni sangat berharap melalui pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS bisa membuat perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan seksual merasa aman dan terlindungi.
Lalu yang ketiga ialah kesadaran kita sebagai sesama perempuan untuk saling dukung dan membantu. Menyediakan diri hadir dan mendampingi tanpa menghakimi. "Kita bantu mereka dengan perspektif korban, misalnya dengan bertanya apakah mereka butuh bantuan atau paling mendasar ialah bertanya kabar," saran Reni.