CANTIKA.COM, Jakarta - Jika kita biasanya menggunakan garam berwarna putih yang bentuknya maupun butiran, masyarakat Papua memiliki garam yang berbeda. Garam asli masyarakat Papua berbentuk seperti abu karena memang dari sisa pembakaran.
Paneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto mengatakan masyarakat Papua yang tinggal di pegunungan atau berada jauh dari pantai mengambil cita rasa asin dari kolam air asin. "Bumbu ini alami dan sederhana," kata Hari Suroto dalam keterangan tertulis.
Beberapa suku di Papua yang masih mempertahankan garam abu ini adalah Suku Moni yang tinggal di bagian barat pegunungan Papua. Mereka memanfaatkan kolam air asin di Hitadipa, Homeyo, dan Wandai. Ada pula penduduk Lembah Baliem mengandalkan kolam air asin di Jiwika dan Hetegima.
Ilustrasi menaburkan garam. shutterstock.com
Kolam tersebut memiliki konsentrasi garam yang tinggi namun beryodium rendah. "Produksi garam di pegunungan barat Papua dilakukan oleh kaum pria, sedangkan di Lembah Baliem, pembuatan garam dikerjakan oleh perempuan," kata Hari Suroto.
Hari Suroto menjelaskan, pembuatan garam dimulai dengan merencam tumbuh-tumbuhan berpori, seperti serat batang pisang dan jenis tanaman Uricaceae atau Elatostema macrophylla ke dalam kolam air asin. Proses perendaman ini memakan waktu sampai dua hari atau lebih.
Proses perendaman batang pohon pisang di kolam air garam Jiwika, Lembah Baliem, Papua. Foto: Balai Arkeologi Papua
Setelah direndam, media penyimpan konsentrasi garam ini kemudian dijemur lalu dibakar sampai menjadi abu. "Abu kemudian digosok-gosok ke daun pisang hingga lembut, lalu dibungkus dengan daun pandan," kata Hari Suroto.
Abu inilah yang menjadi sumber dari cita rasa asin pada setiap masakan. Penggunan garam abu kini kian berkurang karena masyarakat memilih menggunakan garam dapur seperti yang tersedia di toko dan kita gunakan sehari-hari.
Proses pembuatan garam di kolam Iluerainma, Lembah Baliem, Papua. Dok. Bali Arkeologi Papua