CANTIKA.COM, Jakarta - Bunda Literasi Jawa Barat Atalia Praratya masih merasakan tantangan dalam mewujudkan budaya literasi di daerahnya. Beberapa tantangan itu adalah jumlah perpustakaan aktif di Jawa Barat yang masih belum menyeluruh dan akses masyarakat ke perpustakaan masih terbatas, terlebih lagi di masa pandemi.
“Belum lagi generasi Z lebih menyukai menonton televisi, mendengarkan musik, dan mengakses internet, sementara itu generasi milenial lebih menyukai akses informasi melalui internet,” ungkap Istri Gubernur Jawa Barat ini.
Literasi masyarakat Indonesia masih rendah. Indonesia merupakan urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia masih sangat memprihatinkan, hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, hanya satu orang yang rajin membaca.
Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.
Fakta selanjutnya, 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget, atau urutan kelima dunia terbanyak kepemilikan gadget. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Baca: Keluarga bagi Atalia Praratya: Saling Memberi Energi
Salah satu upaya untuk meningkatkan literasi untuk masyarakat adalah mendirikan komunitas-komunitas literasi di sosial media sebagai bentuk kampanye terhadap kegiatan membaca dan menulis.
Atalia Praratya pun terus mengembangkan kemajuan literasi di Jawa Barat dengan berbagai program. Antara lain, mobile library, street library, perpustakan sampai tingkat desa, taman bacaan masyarakat, perpustakaan pusat dan keliling, serta dalam format digital bertajuk Maca Dina Digital Library (Candil).
Atalia juga tak lupa menceritakan sebagai Bunda Literasi, dia bertugas memberikan pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pengembangan literasi baik di lingkungan keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. “Kami juga memberi dorongan agar masyarakat punya komitmen dan perhatian pada pelaksanaan literasi yang bermutu,” tambahnya.
"Mari bersama-sama kita berkolaborasi untuk membangkitkan budaya literasi di masa pandemi Covid-19,” kata Atalia yang juga sudah menerbitkan tiga buah buku cerita anak ini.
Sementara itu, salah satu komunitas literasi di sosial media Facebook, misalnya Nulis Aja Dulu, sering mengadakan event-event menulis dan kelas belajar bagi orang-orang yang ingin mengembangkan minat dan bakatnya dalam berliterasi lewat tulisan.
Menurut Pendiri Komunitas Nulis Aja Dulu, Irma Susanti Irsyadi keterampilan menulis apalagi menuliskan sesuatu yang baru, tidak hanya membutuhkan ide, namun ketajaman cara berpikir dan keluwesan kemampuan menulis sehingga tulisan itu menjadi ‘renyah’ dan ‘bergizi’. Demi mewujudkan tulisan yang renyah dan bergizi, NAD tidak hanya mewadahi minat penulis tetapi juga langsung memfasilitasi dengan berbagai program kegiatan terkait kepenulisan.
“Seperti program pendidikan yang terdiri dari Ruang Belajar, Webinar, dan pelatihan menulis. Ditambah lagi event menulis, mulai dari battle challenge, fun flash fiction, tema mingguan, 30 hari menulis, NAD Academy, dan yang sedang berlangsung NAD –Rakathon,” papar Irma dalam Webinar bertajuk "Literasi, Kunci Pendidikan di Era Pandemi" pada Selasa, 6 April 2021 yang diadakan Komunitas Nulis Aja Dulu berkolaborasi dengan Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Sekretaris Balai Bahasa UPI Ika Lestari Damayanti menambahkan kekuatan dari membaca cerita atau mendongeng adalah menghilangkan kesulitan pemahaman bahasa. “Dengan bahasa yang tidak khusus, pendengar bisa sekaligus belajar tentang bahasa. Tidak seperti buku teks di sekolah, dongeng bisa memotivasi anak untuk belajar. Dan dalam hal ini, belajar bahasa asing bisa terfasilitasi dengan baik dalam mendongeng,” ucap perintis konferensi internasional CONAPLIN.
Ketua Umum IKA UPI Dr. Enggartiasto Lukita pun menambahkan masa depan bangsa sangat bergantung pada hasil pendidikan. "Bagaimana kita sekarang berpikir untuk melakukan hal yang kreatif. Saya berharap, perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lain lebih membekali anak didik untuk masuk dan menghadapi situasi yang makin lama makin sulit,” katanya.