CANTIKA.COM, Jakarta - Anak-anak memiliki beragam cara mengekspresikan emosi sesuai usia mereka. Konsultan psikiatri anak dan remaja dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Anggia Hapsari, mengatakan anak-anak memiliki perasaan dan mampu mengekspresikan melalui berbagai cara sesuai tingkat perkembangan. Pada semua usia, kuatnya emosi positif merupakan dasar untuk penyesuaian yang baik.
"Bayi yang mengalami lebih banyak emosi senang meletakkan dasar-dasar untuk penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial yang baik, juga untuk pola-pola perilaku yang akan menimbulkan kebahagiaan," kata Anggia.
Setelah melewati masa bayi, yakni kira-kira usia 2-6 tahun, anak-anak prasekolah sudah dapat merasakan cinta dan mempunyai kemampuan untuk menjadi anak yang penuh kasih sayang, dapat merasakan anak lain yang sedang sedih, mulai merasa bersimpati dan ingin menolong.
Anak prasekolah baru dapat mengekspresikan satu emosi pada satu waktu dan belum dapat memadukan emosi atau perasaan dari hal-hal yang membingungkan.
Saat anak usia sekolah (6-12 tahun), kemampuan kognitif mereka mulai berkembang sehingga kemampuan untuk dapat mengekspresikan emosi lebih bervariasi dan terkadang dapat mengekspresikan secara bersamaan dua bentuk emosi yang berbeda, bahkan bertolak belakang.
Pada tahap ini, anak mulai mengetahui kapan harus mengontrol ekspresi emosi sebagaimana juga menguasai keterampilan regulasi perilaku anak yang memungkinkan menyembunyikan emosi dengan cara yang sesuai dengan aturan sosial.
Ketika berusia 12 tahun ke atas, mereka sudah mampu menganalisis dan mengevaluasi cara merasakan atau memikirkan sesuatu. Begitu juga terhadap orang lain, anak yang hampir memasuki masa remaja sudah dapat merasakan bentuk empati yang lebih dalam.
"Perbedaan dalam perkembangan emosi membutuhkan perhatian khusus agar anak memiliki kemampuan meregulasi emosi dengan tepat," ungkap psikiater yang berpraktik di RS Pondok Indah – Bintaro Jaya itu.
Baca juga: 4 Cara Ibu Kelola Emosi saat Bekerja dari Rumah, Luangkan Me Time
Menurutnya, memiliki anak dengan kecerdasan emosional memang memerlukan tahapan dan waktu yang tidak sebentar. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah dengan melatih anak meregulasi emosi.
Ada beberapa langkah yang bisa orang tua lakukan untuk membantu anak memiliki regulasi emosi, yakni mengenali emosi/perasaan diri (name the feeling), mengenali emosi/perasaan orang lain, orang tua hadir dan mendengarkan perasaan anak.
Kemudian, menanggapi dengan tepat apa yang menjadi kebutuhan anak, tidak bereaksi negatif saat anak rewel atau marah, jadilah panutan, senang bermain dengan anak, dan tertarik pada aktivitas anak serta mengajarkan anak teknik-teknik relaksasi.
Namun demikian, anak-anak dapat mengalami emosi yang negatif, yang terkadang menjadi ledakan emosi. Anggia mengatakan hal ini wajar. Namun, ledakan emosi pada anak harus diwaspadai apabila misalnya tantrum dan ledakan terjadi pada tahapan usia perkembangan di mana seharusnya sudah tidak terjadi, yaitu di atas usia 7-8 tahun.
Lalu, perilaku anak sudah membahayakan dirinya atau orang lain, menimbulkan masalah serius di sekolah, mempengaruhi kemampuan bersosialisasi dengan teman sehingga anak dikucilkan oleh teman-teman.
Selain itu, anak tantrum dan membuatnya kesulitan dalam keseharian keluarga dan merasa tidak mampu mengendalikan emosi marah serta merasa dirinya buruk juga perlu diwaspadai. Ada beberapa faktor penyebab masalah emosi yang terjadi pada anak, antara lain Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), kecemasan, trauma, kesulitan belajar, gangguan pemrosesan sensori, spektrum autisme, sedikit mendapat kasih sayang dari keluarga maupun teman, atau terlalu terikat dengan satu figur yang dominan.
Menurut Anggia, kepercayaan terhadap orang tua dan model figur yang diamati dalam keluarga berperan dalam membentuk kepercayaan diri anak. Hal ini dapat membantu anak meregulasi emosi dan mendorongnya menjadi mandiri serta berani mengambil risiko.