CANTIKA.COM, Jakarta - Dokter Spesialis Nutrisi dan Penyakit Metabolik pada Anak Damayanti Rusli Sjarif, menekankan pentingnya protein hewani untuk tumbuh kembang anak pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Menurutnya, protein hewani mengandung asam amino esensial lengkap, yang krusial bagi pertumbuhan sel-sel otak anak. Bisa dibilang, protein hewani merupakan investasi gizi untuk tumbuh kembang anak baik secara fisik maupun kognitif.
Damayanti menambahkan bahwa masalah tentang konsumsi protein hewani ini adalah sosialisasi sosialisasi. Ia lalu menyontohkan perubahan buku Kesehatan Ibu an Anak (KIA) yang sudah memasukkan protein hewani ke dalam menu MPASI, masih belum disosialisasikan secara massal. Damayanti juga menyebutkan protein hewani tidak hanya didapat dari daging, bisa yang lebih murah seperti ikan, telur, ayam, termasuk susu.
Penelitian yang dilakukan oleh Damayanti bersama rekan-rekannya pada 2018 menemukan, konsumsi susu pertumbuhan sebanyak 300 milimeter setiap hari bisa dipertimbangkan untuk mencegah stunting pada batita. Penelitian dilakukan pada 2013-2014 di 5 Posyandu di Jakarta, pada 172 batita; 41 di antaranya stunting, dan 131 memiliki tinggi badan normal. Selanjutnya dilakukan analisis untuk mengevaluasi hubungan antara konsumsi sumber protein hewani dan stunting, dan didapatkanlah kesimpulan tersebut.
Menurutnya, Kasein alias golongan protein yang komposisinya mencapai 80 persen, yang terkandung dalam susu memiliki efek positif terhadap hormon pertumbuhan, sehingga bisa mendukung tinggi badan anak. Sebagai protein hewani, susu juga mendukung pertumbuhan sel-sel otak anak. “Negara-negara yang memberikan susu, seperti Vietnam memiliki hasil kompentensi belajar matematika, science, dan membacanya yang sangat bagus. Hanya 5 persen yang tidak lulus, sedangkan Indonesia, 43 persen yang tidak lulus,” kata Damayanti.
Banyak orang mengira Indonesia baru akan masuk pada era bonus demografi pada 2030-an, tapi faktanya lonjakan jumlah usia produktif (15-64 tahun) justru terjadi saat ini. Sensus Penduduk 2020 menyebutkan, terjadi peningkatan jumlah usia produktif yang sangat signifikan. Jika pada 2010 jumlah penduduk usia produktif hanya 157 juta, maka pada 2020 jumlahnya menjadi 191,9 juta atau naik 70,7 persen.
Lonjakan usia produktif ini akan menjadi modal pembangunan jika generasi yang dihasilkan berkualitas. Tapi di saat yang bersamaan Indonesia masih memiliki angka stunting yang tinggi. Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi stunting atau kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronik adalah 30,8 persen. Bahkan proporsi status gizi buruk dan gizi kurang mencapai 17,7 persen.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan butuh sebuah kampanye untuk meningkatkan kecukupan gizi, baik makro maupun mikronutrien dalam rangka mempersiapkan generasi unggul di masa mendatang. "Sebetulnya gizi seimbang yang dikampanyekan oleh Kementerian Kesehatan secara substantif adalah inti yang sangat penting. Dalam arti secara substantif ini sangat benar. Sekarang adalah bagaimana kita membuat kampanye dengan jargon terkait dengan gizi seimbang itu. Beberapa kajian juga sudah menekankan pentingnya anak mendapatkan gizi yang bersifat makro dan mikronutrien," ujar Hasto dalam keterangan pers yang diterima Tempo pada 10 Juni 2021.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan telah merilis pedoman gizi seimbang yang memberikan gambaran porsi sekali makan yang di dalamnya memuat beragam sumber gizi, termasuk protein hewani yang salah satunya dapat ditemui pada susu.
Upaya peningkatan mutu SDM tentunya dapat didorong dengan memperhatikan aspek kecukupan gizi pada anak, termasuk di dalamnya terdapat protein hewani yang bersumber dari beragam jenis pngan hewani, salah satunya susu. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah program untuk mendongkrak konsumsi susu nasional untuk mencetak generasi maju di masa mendatang.
Secara terpisah, Deputi Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan-Setwapres, Suprayoga Hadi menyebutkan terkait intervensi gizi dan nutrisi untuk anak di bawah 5 tahun, pada tahap pendampingan tidak hanya berupa edukasi dan promotif tapi juga ada fortifikasi makanan serta memperluas pelaksanaan program pemberian makanan tambahan anak sekolah.
Dia menjelaskan sejak 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS) maka sekarang pelaksanaannya akan diperluas tidak hanya ditingkat SD tapi juga PAUD.
Baca: Mengulik Beda Kandungan Gizi pada Protein Hewani dan Nabati