CANTIKA.COM, Jakarta - Budaya think before type (pikir sebelum unggah) saat menggunakan media sosial dapat dijadikan upaya pencegahan cyber bullying (perundungan siber). Menurut Psikolog Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani cyber bullying merupakan segala jenis bullying atau perundungan yang dilakukan di dunia maya.
"Bentuknya macam-macam. Misalnya, menyebarkan kebohongan dengan mengatakan si A melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dilakukan, mengunggah foto yang mempermalukan orang lain, juga mengirimkan pesan yang merendahkan atau mengancam," kata Nina.
Menurut Nina, kebanyakan orang kadang kebablasan saat akan mengunggah sesuatu ke media sosial, yang tanpa sadar berpotensi menjadikannya sebagai pelaku atau korban cyber bullying.
"Benar-benar kita pikirkan mau unggah apa dan nulis apa di media sosial. Perlu juga untuk meminta pendapat orang lain apakah yang akan diunggah itu bisa menimbulkan masalah atau tidak," ujar Nina.
Kemudian, Nina juga mengatakan bahwa saat mengomentari unggahan orang lain, wajib disampaikan dengan kalimat positif yang tidak merendahkan, mengancam, atau mempermalukan mereka.
Jika ingin menegur orang lain di media sosial, kata Nina, gunakanlah cara lain seperti pesan melalui direct message (DM) atau WhatsApp pribadi.
Namun, jika mendapatkan komentar negatif dari orang lain, Nina menyarankan untuk tidak terlalu dipikirkan apalagi saat ini banyak akun palsu dan anonim yang memang dibuat untuk tujuan kejahatan. "Komentar negatif enggak usah dimasukin ke hati. Itu juga bisa jadi benteng kita," ujarnya.
Meski demikian, kata Nina, komentar-komentar negatif yang dapat memicu cyber bullying tidak boleh dibiarkan. Menurutnya, orang-orang yang menjadi penonton cyber bullying juga dapat berperan besar dalam menghentikan aksi kejahatan tersebut.
"Kalo ada netizen julid dibiarkan, maka nanti pesan yang ditangkap 'oh ternyata julid di media sosial itu wajar'. Tapi kalau misalnya sekelompok orang menyampaikan bahwa hal tersebut tidak baik, itu memberikan pesan bahwa perilaku seperti itu tidak diterima oleh masyarakat," imbuhnya.
"Jadi jangan dianggap biasa. Kita harus sama-sama budayakan bahwa netizen Indonesia bisa lebih tanggung jawab dan solutif. Itu kan bisa memberikan dampak sosial yang lebih positif," tutup Nina.
Baca: Benarkah Media Sosial Bikin Orang Jadi Suka Pamer? Simak Kata Psikolog