CANTIKA.COM, Jakarta - Hari Tanpa Bra atau No Bra Day dirayakan pada 13 Oktober setiap tahun. Apa tujuan dan arti di balik kampanye ini? No Bra Day pertama kali diluncurkan pada 2011 oleh ahli bedah plastik Dr Mitchell Brown dari Toronto, Kanada untuk mempromosikan kesadaran kanker payudara.
Dalam perayaan No Bra Day, seluruh perempuan didorong untuk tidak mengenakan bra pada hari itu. Kegiatan tersebut bukan sekadar membebaskan diri dari pakaian yang menyempit, tetapi sebagai pengingat akan gejala kanker payudara dan pemeriksaan secara teratur.
Melansir South China Morning Post, perjalanan sejarah menuju bra yang dikenal saat ini cukup panjang. Mulai dari pita kompresi payudara yang digunakan di Yunani kuno hingga korset logam ketat pada abad ke-19. Seorang jurnalis sekaligus anggota pendiri kelompok feminis pertama Cina "East Meets West", Lijia Zhang menuturkan sebelum bra ditemukan, perempuan Cina dipaksa mengenakan yang disebut 'shu xiong'.
Benda tersebut sejenis ikat pinggang kuno untuk meratakan payudara. “Itu adalah tindakan yang berani dan drastis pada saat itu. Tanpa bra mungkin dirasa kurang, tetapi intinya adalah wanita harus memiliki kebebasan untuk memilih kapan dan dimana akan mengenakan bra," kata Zhang.
Sejarah Bra
Bra dipatenkan pada 1914 sebagai pelindung tanpa punggung oleh sosialita New York Mary Phelps Jacob. Dia telah membuat bra dari beberapa saputangan dan sepotong pita merah muda dari korsetnya saat bersiap-siap untuk pesta. Pada zaman modern, bra telah mengalami fase popularitas yang ekstrem.
Seperti selama dekade power bra pada 1980-an, ketika Madonna mengatur nada dengan bra kerucutnya yang terkenal dan menjadi ikon hingga saat ini. Awal dekade 1990-an, penjualan Wonderbra melejit, berkat kampanye iklan “Hello Boys” dengan menampilkan supermodel Eva Herzigová. Banyak pihak mengatakan iklan ini telah menyebabkan banyak kecelakaan lalu lintas karena perhatian pengemudi teralihkan oleh papan reklame.
Ilustrasi bra (pixabay.com)
Hidup Tanpa Bra hingga Kampanye Kanker Payudara Kanker payudara
Lambat laun, bra semakin tidak disukai, contohnya seperti yang terjadi pada 1960-an dan 70-an, dimana saat aktivis feminis mendesak perempuan untuk berhenti memakai bra sebagai deklarasi kebebasan dan kekuasaan. Kemudian pada taun 2010-an, terdapat kampanye “Bebaskan Puting”, diikuti oleh selebritas ternama seperti Rihanna, Chrissy Teigen, dan Miley Cyrus.
Mereka membahas kontroversi bahwa pria boleh tampil topless (tanpa baju) di depan umum. Di sisi lain, hal itu dianggap sebagai perilaku tidak senonoh jika dilakukan oleh perempuan. Saat ini, ketika pandemi Covid-19 meluas, fokusnya tampak telah bergeser dan mementingkan kenyamanan di atas mode. Saat bekerja dari rumah, tidak ada batas antara pakaian siang dan pakaian tidur, lalu bralette menjadi produk yang disukai wanita.
Kanker Payudara
Ilustrasi kanker payudara (pixabay.com)
Selain kenyamanan, pemberdayaan, dan tampilan belahan dada yang khas, masalah kesehatan adalah alasan lain mengapa beberapa perempuan tidak memakai bra. Hasil sebuah studi yang diterbitkan dalam European Journal of Cancer pada tahun 1991 menemukan bahwa perempuan premenopause yang tidak memakai bra dapat mengurangi risiko kanker payudara hingga setengahnya dibandingkan dengan pengguna bra.
Namun, penelitian selanjutnya mempertanyakan hasil penelitian tersebut dan American Cancer Society merujuk pada penelitian di tahun 2014 yang diterbitkan dalam Cancer, Epidemiology, Biomarkers & Prevention menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara bra dan kanker payudara, karena jauh lebih dapat diandalkan. Mengenakan bra mungkin bukan risiko kesehatan, tetapi banyak penelitian menunjukkan bra yang tidak pas dapat sangat mempengaruhi tulang rusuk dan menyebabkan sakit punggung dan leher.
Bra yang dipasang dengan benar dapat membantu mendistribusikan berat payudara secara merata dan bahkan dapat membantu mengangkat payudara dari tulang rusuk, sehingga membuat lebih mudah untuk bernapas. Namun, pandangan lain mengenai hal ini, yaitu bahwa bepergian tanpa bra atau setidaknya sebagian besar waktu, tidak akan menyebabkan sakit punggung. Profesor Prancis Jean-Denis Rouillon di Rumah Sakit Universitas Besancon di Prancis timur menyarankan hal tersebut setelah penelitiannya, yang masih belum dipublikasikan, mempertanyakan apakah mencopot bra akan menyebabkan payudara melorot.
Dalam penelitiannya yang dilakukan selama periode 15 tahun, Rouillon mengukur payudara dari 330 sukarelawan dengan rentang usia antara 18 dan 35 tahun, menggunakan penggaris geser dan jangka sorong. Hasil yang tidak dipublikasikan menyimpulkan bahwa perempuan yang tidak memakai bra mengalami peningkatan 7 milimeter (0,28 inci) yang diukur dari puting mereka setiap tahun.
Payudara mereka juga lebih kencang, serta stretch mark lebih memudar. Bra dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri, membuat penampilan terlihat baik. Selain itu, bra juga dapat melindungi payudara, mencegahnya memantul selama melakukan latihan keras.