CANTIKA.COM, Jakarta - Aktris Arawinda Kirana memandang kesempatan debut akting layar lebarnya di film Yuni dapat menjadi medium atau sarana tambahan untuk dapat menyuarakan isu gender dan perempuan yang selama ini ia akrabi.
“Dari SMP sampai SMA, saya sudah berorganisasi. Saya ikut Model United Nations, itu seperti simulasi konferensi PBB. Saya juga ketua OSIS di sekolah. Jadi, saya lumayan familiar dengan isu-isu feminisme, kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan inklusivitas,” ujar aktris yang akrab disapa Ara itu saat jumpa pers film Yuni di XXI Epicentrum Jakarta, Senin 6 Desember 2021.
Ia juga bercerita dirinya pernah mengunjungi ke beberapa pedesaan, seperti ke desa Argalingga di Majalengka, dan menemukan perempuan-perempuan yang memiliki kehidupan mirip seperti karakter Yuni yang ia perankan.
“Saya melihat banyak sekali perempuan-perempuan seperti ini. Perempuan-perempuan berumur 21 tahun yang anaknya sudah umur 4 tahun, berarti mereka punya anak saat berumur 16 tahun. Itu memang meresahkan buat saya dari dulu,” tutur aktris berusia 20 tahun itu.
Disutradarai oleh Kamila Andini, film Yuni bercerita tentang seorang remaja cerdas bernama Yuni yang memiliki impian untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan. Namun ia dihadapkan pada pilihan, antara memenuhi kehendak sosial untuk segera menikah di usia muda atau tetap mengejar impiannya.
Berkat film ini, Arawinda memboyong penghargaan Snow Leopard kategori aktris terbaik di Asian World Film Festival 2021 dan Piala Citra kategori pemeran utama perempuan terbaik.
Arawinda Kirana berpose dengan penghargaan pemeran utama perempuan terbaik malam anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2021 di JCC, Rabu, 10 November 2021. Arawinda menang berkat perannya dalam film Yuni. TEMPO/Nurdiansah
Bagi Arawinda, penghargaan tersebut telah menjadi tonggak sejarah dalam perjalanan karier dan kehidupannya. Penghargaan tersebut, katanya, membuat dirinya tertantang untuk terus belajar dan tidak berhenti puas di satu titik saja.
“Dengan semua penghargaan ini, saya merasa bahagia untuk film ini karena berarti banyak orang yang menonton dan mendengar suara kita,” tambahnya.
Arawinda juga mengaku tak ragu ketika memainkan adegan tabu sebab menurutnya hal tersebut merupakan bagian dari apa yang ingin disuarakan film “Yuni”.
“Kalau saya sendiri sebenarnya lumayan berani untuk menyuarakan apapun yang perlu disuarakan, isu-isu yang penting yang mungkin dibilang tabu, karena kalau misalnya bukan saya siapa lagi,” tuturnya.
Adegan tersebut, lanjutnya, merepresentasikan pembebasan serta pelepasan karakter Yuni dari tuntutan perjodohan paksa, bukan semata-mata memperlihatkan seksualitas tanpa makna atau berkonotasi negatif.
“Kalau misalnya saya memainkan adegan seperti itu tapi maknanya tidak sebagus yang di film ini, atau tidak bermakna, atau tidak substantif, saya tidak akan memilihnya,” ujarnya.
Perempuan yang memulai debut aktingnya di dunia seni teater ini mengakui terdapat beban tersendiri saat melakoni syuting “Yuni” lantaran film tersebut merupakan film panjang pertamanya.
“Tentu media teater dan film sangat berbeda. Saya memang awalnya dari teater, musical teater, lalu loncat ke film apalagi berbayar itu ada suatu tekanan sendiri di mana saya harus terus bersikap profesional,” katanya.
Arawinda mengatakan dirinya tidak menyangka jika debut akting layar lebarnya mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Ia juga tidak menyangka atas pencapaian yang telah diraihnya sebab ia mengaku tidak pernah mematok ekspektasi tinggi.
“Sebenarnya saya nggak ada ekspektasi karena saya dari dulu memang berkarya untuk berkarya saja. Jadi saya melakukan apa yang menurut saya pada waktu itu pantas untuk karakter saya sendiri,” ujarnya.
Baca: Jangan Canggung, Bicarakan 3 Hal Ini dengan Pasangan sebelum Menikah