CANTIKA.COM, Jakarta - Dulu Siti Naskah selalu memarahi anaknya, Jaka Ahmad dan Rina Prasarani, ketika nilai mereka jelek. Tidak jarang SIti Naskah ngomel ketika Jaka dan Rina tiba-tiba menabrak sesuatu atau tidak memungut barang yang jatuh karena tersenggol oleh mereka sendiri. "Saya memang sudah terbiasa tegas dengan anak," kata Ikah, sapaan Siti Naskah kepada Cantika pada 16 Desember 2021.
Namun kejadian 1986 menjadi salah satu titik balik yang dialami Ikah. Kala itu, Ikah harus mengantar suaminya berobat ke Singapura dan meminta keluarganya untuk menemani kedua anaknya di rumah. Keluarganya itu pula yang menemani Jaka dan Rina mengikuti pemeriksaan umum kesehatan di sekolah dasar mereka. Usia Jaka dan Rina hanya selisih 1 tahun saja, keduanya bersekolah di sekolah yang sama. “Hasil pemeriksaannya, dua anak saya mengalami kelainan pada mata mereka," kata Ikah mencoba kembali mengingat kejadian 35 tahun lalu itu.
Sesampainya di Jakarta, Ikah pun membawa Jaka dan Rina ke Rumah Sakit Khusus Mata Aini. Saat itu, dokter mengatakan Jaka dan Rina mengalami kelainan pada retina alias Retinitis Pigmentosa. Penyakit yang hingga kini belum ada obatnya itu. lama-kelamaan akan membuat penglihatan keduanya menghilang secara permanen. Dokter kala itu hanya bisa memberikan obat untuk memperlambat proses hilangnya penglihatan itu. “Mendengar nanti Jaka dan Rina akan totally blind, saya nangis kencang sekali,” kata wanita 74 tahun itu.
Komika tunanetra Jaka Ahmad alias Blindman Jack bersama sang ibu, Siti Naskah saat ditemui di kediamannya di Jakarta, Kamis, 16 Desember 2021. TEMPO/Nurdiansah
Ikah baru menyadari berbagai kelainan yang dialami Jaka dan Rina. Penglihatan kedua anaknya itu memang ternyata seperti teropong yang hanya bisa melihat ke depan. Pandangan mereka terbatas sehingga tidak bisa melihat sisi kanan dan kiri. Tidak heran, mereka selalu kesulitan ketika memandang tulisan di papan tulis, atau tidak melihat berbagai barang yang jatuh di bawahnya. “Pikiran saya saat itu anak-anak saya akan jadi peminta-minta atau tukang pijat tuna netra,”kata Ikah.
Kondisi itu, dirahasiakan Ikah kepada Jaka dan Rina sendiri. Ikah tidak ingin kedua anaknya kehilangan cita-cita hingga berpikir terlalu terlalu jauh. Ia pun tidak bisa banyak berdiskusi dengan suaminya karena kondisi mental suami pun down akibat stroke yang dialaminya. “Saya hanya kasih tahu bahwa penglihatan mereka akan terus memburuk,” kata Ikah kepada Jaka dan Rina.
Informasi soal pengobatan untuk Jaka dan Rina saat itu masih sangat minim. Internet belum menjadi pedoman utama dalam mencari informasi di tahun 1980an. Sehingga Ikah pun mencari informasi pengobatan dari mulut ke mulut saja. Selain pengobatan medis dari dokter yang harapannya memperlambat penurunan penglihatan, Ikah pun mengikuti beberapa pengobatan alternatif untuk kedua buah hatinya itu. Ada pengobatan yang hanya memberikan pijatan mata kepada Jaka dan Rina, ada pula yang pengobatan dari Timur Tengah yang katanya memberikan setrum kepada mata kedua anak itu. “Setelah 1 tahun kami bolak-balik ke pengobatan alternatif itu, akhinya kami berhenti karena tidak melihat perkembangan pada penglihatan keduanya. Anak-anak juga capek,” kata ibu tiga anak ini.
Atas bantuan saudaranya yang merupakan Duta Besar Indonesia untuk Rusia saat itu, Ikah pun sempat pergi ke Rusia untuk mencari pengobatan untuk Rina dan Jaka. Sayang, dokter di Rusia tetap mengatakan kebutaan tidak bisa dihindari.
Ikah masih enggan menerima sebutan tuna netra untuk kedua anak mereka. Walau begitu, ia pun semakin lunak kepada anak-anaknya. Ia menerima tidak lagi marah ketika kedua anaknya mengalami nilai akademis yang terus menurun. “Anak saya bukan tuna netra. Anak saya masih bisa melihat. Dan saya tidak mau terima hal itu,” kata Ikah pada awal masa itu.
Ketidaktahuan Jaka dan Rina tentang kondisi mereka membuat keduanya merasa baik-baik saja. Rina meminta untuk masuk kuliah jurusan matematika di salah satu kampus swasta di kawasan Kalibata. Ikah sudah membayangkan berbagai kesulitan yang akan dihadapi Rina, karena perlu konsentrasi tinggi ketika harus menyalin berbagai angka yang berseliweran itu. Benar saja Indeks Prestasi Rina yang awalnya 2,7 terjun bebas hingga menjadi 0 lebih sedikit pada beberapa semester kedepan. “Suatu hari Rina pun meminta keluar dari kampusnya. ‘Aku nggak bisa lihat, Ma. Aku mau kerja saja’. Kata Rina ke saya di mobil pulang saat saya jemput dia. Saya bercucuran air mata karena sedih sekaligus lega. Lega karena Rina sudah memahami kondisi matanya tanpa saya beritahu, dan sedih karena kondisi Rina itu,” kata Ikah yang masih sangsi Rina bisa mendapatkan pekerjaan tanpa menjadi sarjana.
Jaka lain lagi. Saat Jaka duduk di bangku SMA, Jaka ngotot ingin belajar menyetir mobil. Ia meminta bantuan supir untuk membantunya belajar menyetir. Karena penglihatan yang memang semakin memburuk membuat mobil yang dikendarai Jaka akhirnya masuk ke parit. Pelan-pelan Ikah menjelaskan kepada Jaka bahwa sangat berbahaya baginya untuk belajar menyetir dengan kondisi penglihatan yang semakin menurun.
Ikah terus mencari cara agar Rina dan Jaka bisa berdaya. Ia kursuskan Rina ke sebuah les Bahasa Inggris yang langsung diajar oleh orang asing. Ikah dengan sabar mondar-mandir membawa mobil untuk mengantar Rina dan Jaka ke berbagai tempat untuk pengobatan atau demi pendidikan. Selain itu, Ikah pun harus terus mengantar sang suami untuk melakukan terapi secara berkala karena stroke yang dialaminya. Untuk mendapatkan tambahan pendapatan, Ikah bahkan membuka jasa catering.
Ketika sedang mengantar sang suami berobat ke RSCM, Ikah pun melihat poster di lift tentang konsultasi pandangan yang terbatas. Ikah juga mencari berbagai komunitas untuk tuna netra yang harapannya bisa membantu kondisi Jaka dan Rina.
Halaman