CANTIKA.COM, Jakarta - Jagat literasi semakin bergeliat, hal itu ditandai dengan munculnya berbagai komunitas penulis yang mewadahi passion menulis dan semakin banyaknya penulis-penulis baru yang menjadi bintang baru.
Penulis perempuan Indonesia atau perempuan penulis telahh banyak menorehkan catatan di dunia literasi. Sudah banyak judul novel dan buku yang laris manis di pasaran, hingga mampu menginspirasi khalayak ramai yang penulisnya adalah perempuan. Beberapa dari karya tersebut pun kemudian diadaptasi ke layar bioskop dan mendapat animo beragam dari masyarakat.
Selain para penulis yang sudah berkali-kali menerbitkan karya mereka baik novel atau cerita pendek, seperti Dee Lestari, Leila S Chudori, Okky Madasari, dan lainnya. Muncul pula para penulis yang mulai melirik tema kearifan lokal dari daerah untuk diangkat sebagai cerita. Di antaranya ada Puspa Seruni dan Diajeng melalui debut novel mereka yang menuangkan kisah perempuan terinspirasi dari daerah di Indonesia.
Puspa Seruni, penulis novel Sang Penari yang mengangkat cerita perempuan berdasar kearifan lokal, khususnya di Bali/Foto: Doc. Pribadi.
Puspa Seruni menuliskan novel berjudul Sang Penari yang mengambil kisah nyata diramu menjadi fiksi menarik dan dramatis. Puspa mengatakan kenapa tertarik mengangkat tema kisah penari di Bali dengan kompleksnya masalah yang dialami, salah satunya pernikahan karena perjodohan.
"Bagaimana si tokoh utama ini bertahan menjalani pernikahan berbeda kasta dengan gesekan masalah yang datang dari keluarga dan suaminya sendiri. Walau sekarang sudah ada perubahan tradisi, tapi sudah terlanjur mengakar di masyarakat," ucap Puspa melalui live Instagram beberapa waktu lalu.
Melalui novel ini, staf pengajar di salah satu Perguruan Tinggi di Bali ini mengatakan sosok Ayu Samaya membawa pesan jika bahagia itu diciptakan bukan dicari, bisa merepresentasikan perempuan masa kini yang masih bingung mencari kebahagiaan mereka.
Diajeng Laraswati Hanindiyani atau karib disapa de Laras yang menulis novel kisah perempuan Jawa dalam novel Keagungan Manah, Menepis Denting Nurani/Foto: Doc. Pribadi
Kemudian ada Diadjeng Laraswati Hanindyani atau karib disapa de Laras yang telah melahirkan ratusan antologi cerita pendek, dan baru-baru ini merilis debut novel bertajuk Keagungan Manah, Menepis Denting Nurani. Secara garis besar novel ini mengisahkan perempuan Jawa bernama Btari yang mengabaikan kebahagiaan dirinya demi menjaga martabat keluarga dan adat istiadat setempat.
"Novel ini berawal dari bab tujuh yang berteman dengan enam perempuan yang memiliki berbagai masalah, termasuk masalah kekerasan dalam rumah tangga dan KDRT yang related dengan kasus di Indonesia," ucap de Laras dalam peluncuran novelnya, Sabtu, 18 Desember 2021 di Museum Nasional, Jakarta.
Menurut de Laras, pesan novel ini untuk saling menguatkan perempuan satu sama lain dengan masalah mereka, khususnya yang terkait dengan budaya dan adat istiadat. "Apa yang dialami si tokoh ini sampai di bagian akhir tetap menjaga martabat keluarga dengan segala problemnya," ucap de Laras yang juga seorang Blogger.
Berbicara ihwal penulis perempuan, menurut Sastrawan Kurnia Effendi bisa dibilang cukup menggembirakan, sejak dulu dia mengamati tak sedikit perempuan yang melejit sebagai penulis dan dominasi sosok perempuan dalam cerita juga banyak. Misalnya untuk penulis perempuan seperti La Rose, Marga T, dan Mira W.
Sastrawan Kurnia Effendi menjadi salah satu pembicara di bedah novel bertajuk Keagungan Manah, Menepis Denting Nurani, Sabtu, 18 Desember 2021 di Museum Nasional, Jakarta/Foto: Ecka Pramita
"Namun, saya belum banyak melihat perempuan yang menggali lebih dalam ke ranah sastra, masih banyak yang ke arah Metropop," ucap penulis novel Teman Perjalanan ini saat ditemui di Jakarta, Sabtu, 18 Desember 2021.
Oleh karena itu, Kurnia berharap perempuan bisa lebih concern lagi membawa kearifan lokal dari daerahnya masing-masing. Terutama dari daerah yang mengusung kearifan lokal, kental dengan konflik dan persoalan yang perlu diketahui oleh orang lain, nah itu menarik karena orang juga belum banyak tahu
Hambatan ketika perempuan ingin menuliskan cerita selain dari keluarga terdekat -sehingga terkondisikan untuk mengganti dengan samaran- kembali lagi pada komitmen masing-masing penulis, tujuan dan, passion mereka agar bisa dikomunikasikan dengan keluarga.
"Sebab, masalah eksistensi ini masih jadi persoalan personal, jadi butuh komunikasi yang baik. Seperti misalnya, ada kawan saya penulis dan suaminya baru tahu kalau dia memiliki penggemar karena tulisannya," seloroh dia.
Pria kelahiran 20 Oktober 1960 ini optimis jika kelak penulis perempuan punya masa depan yang baik di dunia literasi. Sebabnya, era media sosial ini semakin memberikan kontribusi dan kesempatan lebih luas kepada penulis perempuan untuk berkarya, khususnya menuliskan soal kearifan lokal dari sudut pandang perempuan.
Baca: Menulis Bisa Jadi Cara Ibu Rumah Tangga Hasilkan Uang Selama Pandemi