CANTIKA.COM, Jakarta - Perkembangan tren busana semakin cepat dari masa ke masa. Pergerakan industri mode tersebut menuntut mereka untuk berlomba-lomba menciptakan koleksi setiap musimnya. Beragam busana yang diproduksi ini membuat seseorang mudah mendapatkan pakaian yang mereka inginkan. Namun disisi lain, hal ini memicu seseorang untuk bertindak konsumtif.
Tanpa disadari, industri mode cepat atau yang dikenal dengan istilah fast fashion dan konsumerisme dapat menghasilkan limbah industri tekstil yang mencemari lingkungan. Fast fashion akan mengikuti permintaan tren yang begitu tinggi dan cepat tanpa memperdulikan aspek kualitas bahan serta dampaknya, apalagi sumber daya manusianya.
Dikutip dari laman Waste4Change, 33 juta ton pakaian diproduksi setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, dihasilkan hampir satu juta ton limbah tekstil yang terbuang di lingkungan. Bahkan, Zero Waste Indonesia pun menemukan fakta bahwa pada tahun 2018, jumlah limbah tekstil mendominasi polutan di lautan, lebih banyak dari sampah plastik.
Maka, muncul beragam kampanye untuk mendorong industri mode dan para konsumennya untuk lebih sadar atau mindful dalam memproduksi dan menggunakan pakaian. Gerakan tersebut adalah Slow Fashion (fashion lambat), Sustainable Fashion (fashion berkelanjutan), dan Ethical Fashion (mode etis). Ketiga gerakan ini merupakan tanggapan dari berkembangnya industri fast fashion yang masif.
Apa perbedaan dari gerakan-gerakan tersebut yang fashionista perlu ketahui? Berikut penjelasannya.
1. Slow Fashion
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, industri fast fashion berdampak pada kerusakan lingkungan yang masif. Slow fashion merupakan gerakan yang merespon industri fast fashion. Gerakan ini pertama kali dicetuskan oleh Kate Fletcher, seorang Professor of Sustainability, Design, Fashion at Centre for Sustainable Fashion, University of the Arts London.
Slow fashion adalah gerakan untuk mendorong sikap serta mindset konsumen saat membeli pakaian agar lebih sadar dan bijaksana. Konsumen yang ingin mengimplementasikan gerakan ini harus mencoba untuk mengubah kebiasaan konsumtif saat berbelanja pakaian.
Mengutip dari laman Green Suggest, slow fashion berfokus pada investasi jenis pakaian berdesain timeless dan bahan yang berkualitas serta sustainable. Hal ini dikarenakan pakaian yang mempunyai kriteria tersebut akan memiliki masa pakai yang panjang. Contoh bahannya seperti katun organik dan linen.
Selain itu, slow fashion juga menjadi gerakan untuk mendukung dan mempromosikan karya-karya desainer, seniman, serta jenama lokal.
Sikap konsumen yang telah mempraktekkan gerakan slow fashion akan membantu mengurangi jejak karbon pada lingkungan yang akan bermanfaat bagi bumi. Gerakan slow fashion juga bertujuan untuk mengurangi limbah tekstil yang telah membebani tempat pembuangan sampah dengan produksinya yang cepat dan menumpuk.
2. Sustainable Fashion
Mengutip dari Green Suggest, sustainable fashion atau fashion berkelanjutan adalah gerakan yang memikirkan serangkaian aktivitas produksi sekaligus tahapan siklus suatu produk. Tidak hanya proses produksinya, namun aktivitas tersebut harus punya dampak terhadap kondisi sosial ekonomi sekitar.
Adapun rangkaian aktivitas tersebut mulai dari pertanian dan budidaya serta mentah, produksi bahan mentah, desain, manufaktur, transportasi, penyimpanan, pemasaran hingga dibeli oleh konsumen, pengolahan dan pemakaian kembali dan juga pembuangan. Hal ini termasuk juga penerapan konsep reduce, reuse, dan recycle (R3).
Perusahaan yang bergerak di bidang mode dan menerapkan gerakan ini memiliki kewajiban untuk mengadopsi pola konsumsi yang lebih berkelanjutan pada konsumennya.
Hal ini contohnya seperti membeli lebih sedikit pakaian dan sesuai kebutuhan, menggunakan lebih lama hingga rusak, mendaur ulang, memperbaiki, dan melakukan praktik perawatan berkelanjutan, serta jangan membuang sembarangan.
Fashion berkelanjutan atau yang dikenal dengan eco fashion ini juga mempunyai tujuan yaitu industri yang netral karbon serta mendorong masyarakat dalam memerangi jejak karbon besar yang merupakan akibat langsung dari fast fashion.
Sustainable fashion dapat pula mengurangi dampak lingkungan, seperti polusi udara, polusi air, dan tempat pembuangan akhir (TPA), yang semuanya berkontribusi terhadap perubahan iklim.
3. Ethical Fashion
Merespon industri fast fashion yang banyak merugikan lingkungan dan manusia, terdapat gerakan baru yaitu ethical fashion atau mode etis. Mode etis atau mode yang lebih beretika bisa mempunyai banyak arti sesuai bagaimana seseorang itu mengartikan kata etis itu sendiri.
Namun, melansir dari Ethical Made Easy, ethical fashion berfokus pada pengurangan kerugian bagi manusia, binatang serta planet. Hal ini juga bisa diartikan, mereka yang bekerja di sepanjang rantai pasokan harus mendapatkan kehidupan layak, tidak hanya untuk mereka yang berada di puncak yang dapat merasakan keuntungannya.
Dikutip dari laman The Good Trade, pendapat umum dari ethical fashion merupakan tanggapan terhadap industri fast fashion yang terkenal membayar rendah karyawan dan kondisi kerja yang tidak aman. Fenomena ini mengerucut pada pertanyaan para konsumen seperti, "Siapa yang membuat pakaian ini?" dan "Apakah orang itu mendapatkan upah hidup yang layak?"
Kayla Marci, seorang market analisis perusahaan EDITED mengungkapkan, tidak ada merek atau perusahaan yang benar-benar sustainable atau beretika menurut setiap individu. Pesan yang tidak jelas dari merek atau perusahaan akan menimbulkan ketidakpercayaan di antara konsumen.
Maka, Marci memberikan solusi atas permasalahan ini, yaitu perusahaan mode atau merek harus mengutamakan transparansi. Mulai dari bagaimana, dimana, dan oleh siapa pakaian dibuat. Bagi pekerja, kondisi kerja harus ditingkatkan dalam hal kesejahteraan, upah, keselamatan, rantai transportasi, polis asuransi, dan lainnya.