CANTIKA.COM, Jakarta - Dalam ulasan Finance and Career kali ini, kita mengulik awal mula para perempuan peneliti yang juga bagian perwakilan alumni program L’Oréal-UNESCO For Women in Science dari seluruh Indonesia terpikat meneliti. Mereka adalah Ines Irene Caterina Atmosukarto, Fenny Martha Dwivany, Noryawati Mulyono, Pietradewi Hartrianti.
1. Doktor Ines
Kita mulai dari Doktor Ines Irene Caterina Atmosukarto. Ketertarikan dia menjadi perempuan peneliti bermula dari orang tua.
"Niat menjadi peneliti dipupuk dari rumah. Keluarga saya kebetulan sangat menjunjung tinggi pendidikan. Mama adalah ahli fisika nuklir, papa adalah insinyur. Sejak kecil dipupuk bahwa pendidikan itu penting," kata Ines dalam acara L’Oreal Beauty That Moves: Women in Science di Jakarta Selatan, Rabu, 22 Mei 2024.
Doktor Ines Irene Caterina Atmosukarto. Foto: Dok. L'Oreal Indonesia
Doktor Ines diketahui sudah berkarier selama 15 tahun di Australia sebagai peneliti, akademisi dan juga CEO Lipotek Pty Ltd yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang medis dan pembuatan vaksin. Dia memiliki semangat yang besar untuk kembali ke Indonesia dalam memberikan kontribusi melalui kolaborasi dan kemitraan dengan pemerintah guna mendukung pemanfaatan sains dan hasil penelitian sebagai landasan pembuatan kebijakan.
Dr. Ines juga menyampaikan bahwa penting bagi para perempuan peneliti untuk memiliki kemampuan komunikasi dan kepemimpinan yang baik sebagai modal mereka dalam meniti karier di berbagai bidang dan memberikan kontribusi untuk negeri melalui hasil temuan yang tepat guna dan dapat diimplementasikan dalam masyarakat.
2. Profesor Fenny
Selanjutnya, kita mengulik awal mula Profesor Fenny Martha Dwivany terpikat dunia penelitian. Ayahnya yang seorang dosen menjadi pemantiknya.
"Kami berasal dari desa terpencil di Tasikmalaya. Ayah saya berasal dari keluarga petani, yang jadi sarjana ayah saya satu-satunya. Karena dia dari keluarga ga punya, jadi dia bercita-cita anak-anak harus sekolah setinggi-tingginya. Saya pun termotivasi melihat betapa tinggi semangat dan perjuangan ayah saya," ujar Guru Besar Institut Teknologi Bandung itu.
Dia juga mengatakan sosok Pratiwi Sudarmono, astronot perempuan pertama Indonesia juga semakin menguatkan tekad dia menjadi peneliti.
"Waktu SD tahun 1984, nonton televisi lihat profesor Pratiwi, astronot perempuan pertama dari Indonesia. (Lalu saya berucap) kok, ada perempuan jadi astronot. Jadi, dulu cita-cita saya jadi cita-cita saya. Biologi asyik, mempelajari yang hidup-hidup," ucapnya.
"Minat saya di life science, dan latar belakang keluarga yang membuat saya tertarik menajdi peneliti," ucapnya.
Profesor Fenny Martha Dwivany. Foto: Dok. L'Oreal Indonesia
Profesor Fenny juga menyampaikan bahwa diperlukan beberapa langkah strategis dalam memajukan peran perempuan peneliti.
“Pertama, pentingnya pengembangan kapasitas melalui pelatihan dan lokakarya yang khusus dirancang untuk peneliti perempuan yang difokuskan pada pengembangan keterampilan teknis dan manajerial. Kedua, mentorship dan networking di mana perempuan peneliti mendapatkan bimbingan dari peneliti senior yang sudah berpengalaman, sehingga dapat membantu mereka navigasi di dunia penelitian yang kompetitif," katanya.
Hal ketiga yang dia sebutkan adalah pentingya dukungan dari institusi pemerintah, dan pihak swasta untuk menciptakan lingkungan penelitian yang inklusif dan suportif termasuk fasilitas penelitian yang memadai.
Halaman