CANTIKA.COM, Jakarta - Indonesia memang kaya dengan tas nusantara yang etnik, mulai dari noken (Papua), anjat (Dayak, Kalimantan), koja (Baduy, Banten), sepu (Toraja, Sulawei Selatan), saloi (suku Togutil dan Taboru, Maluku), kerombokan (Jawa), dan masih banyak yang tersebar di wilayah kepulauan yang mungkin belum teridentifikasi.
Cantika Review kali ini mengulas buku Tas Nusantara Melintas Waktu yang merangkum tas dari berbagai perspektif mulai dari sejarah baik teks maupun relief di candi-candi, tas yang masuk sebagai warisan budaya, tas etnik dengan segala rupa, filosofi, dan fungsinya, mode kekinian, hingga yang sedang jadi concern bersama yakni sustainable bag atau tas ramah lingkungan.
Dalam merayakan tas Nusantara, Direktur Festival Tas Nusantara Heru Mataya mengatakan peran literasi menjadi penting sebab menjadi bagian signifikan dari festival yakni untuk merekam dinamika kehidupan kreativitas masyarakat dari berbagai sudut pandang pengetahuan, arkeologi, antropologi, ilmu sosial, ekonomi, dan lain-lain.
Founder dan admin komunitas Nulis Aja Dulu, Irma Susanti Irsyadi dan Brigitta Innes/Foto: Istimewa
Menurut Founder Komunitas Nulis Aja Dulu (NAD), Irma Susanti Irsyadi tas Nusantara adalah kekayaan budaya yang tidak kalah dari benda-benda lainnya seperti batik. Seperti bisa dibaca dalam buku Tas Nusantara, sebagai sebuah benda, tas Nusantara berfungsi lebih dari sekadar wadah untuk mengantongi barang-barang tapi juga bermuatan filosofis dan representasi budaya kelokalan Indonesia.
"NAD sebagai sebuah komunitas literasi selalu peduli dan ingin berkontribusi dalam hal-hal terkait budaya sebab ini dekat dengan literasi itu sendiri. Budaya adalah cerminan bangsa dan literasi adalah jalan untuk menyebarluaskannya," ucap Irma
Senada dengan Heru, bagi Irma literasi memiliki pengaruh cukup besar karena lewat tulisan lah budaya nusantara (dalam hal ini tas) dapat dikenal dan dibaca semua orang. Lewat tulisan pula orang-orang yang belum berkesempatan mengunjungi atau melihat produk-produk tas dari daerah lain bisa turut merasakannya lewat deskripsi kata-kata.
Arkeolog dan budayawan Dwi Cahyono mengatakan jika tulisan tas dalam buku ini baru tahap permulaan masih perlu ditindaklanjuti dengan eksplorasi, konservasi, dan fungsionalisasi. "Orang butuh wadah, sepanjang orang masih butuh mobilitas maka kehadiran tas terus akan dipakai. Tentu masih terbuka kemungkinan untuk mengeksplorasi lebih dalam agar mengetahui akar tradisi dan perspektif ke depannya bagaimana," ucap Dwi dalam book review Tas Nusantara Melintas Waktu, Sabtu, 22 Juni 2024 di Solo.
Berbicara mengenai kekayaan tradisi dan budaya, sastrawan dan editor buku Tas Nusantara Melintas Waktu Kurnia Effendi mengatakan tas bukanlah sekadar wadah, melainkan juga cermin karakter suku bangsa, menjadi bagian dari strata sosial, harga diri alias martabat, dan filosofi bagi masyarakat pembuat dan pemakainya.
Untuk membuat tas, beberapa suku tertentu mengatur dengan ritual karena dalam prudk tas itu ada nilai spiritual. Bagaimana dengan berbagai jenama kelas dunia uang kemudian menjadi alat pamer untuk menunjukkan status pemiliknya? Bagi Kurnia itu adalah perluasan ego dan sebagian hasrat manusia yang barangkali sulit dibuktikan dengan cara lain, misalnya kecerdasan atau kearifan.
Pesona Tas Nusantara yang Etnik dan Kekinian
Sebuah kisah perjalanan melintasi waktu yang dialami oleh tas-tas etnik Nusantara telah berhasil didokumentasikan dalam sebuah buku antologi berjudul: "Tas Nusantara Melintas Waktu" yang ditulis oleh 36 penulis dari berbagai daerah. Dari berbagai perspektif, buku kumpulan esai ini mencoba untuk memotret perjalanan tas etnik Nusantara dari mulai zaman kerajaan Hindu-Budha seperti yang telah terpahatkan pada dinding-dinding candi hingga tas etnik kekinian yang sangat inovatif.
Buku Tas Nusantara Melintas Waktu diterbitkan Festival Tas Nusantara dan komunitas Nulis Aja Dulu/Foto: Cantika/Ecka Pramita
Irma mengatakan pilihannya menulis tas kulit. "Karena saya berasal dari Jawa Barat, saya memilih menulis tas kulit produksi Cibaduyut dan Sukaregang Garut. Dua tempat ini pernah saya kunjungi dan tas produksinya saya beli dan pakai, sehingga tulisan saya akan menyumbangkan nilai personal touch dari pengalaman pribadi," ucap dia.
Sementara itu, penulis lainnya Windy Effendy mengatakan ketika mendapatkan kesempatan menulis tentang tas nusantara, awalnya sempat bingung karena merasa tidak memiliki bahan untuk itu. Sempat bingung apakah hanya akan terjun ke Google dan menulis seadanya dari situ atau riset langsung.
"Kemudian saya teringat sahabat saya sewaktu kuliah, Maria, yang berasal dari Papua walaupun dia bukan keturunan Papua melainkan ikut orang tuanya pindah dari Jawa sejak dia kecil. Saya ingat benar, Maria selalu membawa tas noken Papua untuk kuliah. Sejak semester 1 hingga lulus, tas itu selalu dipakainya," ucap Windy.
Koordinator Divisi Kreatif Komunitas Perempuan Penulis Padma ini ingin menulis sesuatu yang ada sentuhan personalnya dengan melibatkan tokoh Maria dalam tulisan itu. Apalagi kemudian ia tahu banyak yang menulis tentang noken.
Dalam prosesnya, Windy pun mengetahui jika ternyata tas nusantara sangat beragam. "Bukan sekadar yang terlihat di pameran-pameran, tapi jauh lebih banyak dari itu. Filosofinya pun dalam dan menarik. Festival tas nusantara ini membuat saya jadi belajar banyak. Sangat bangga bisa terlibat dalam bukunya. Setelah ini, akan semakin bangga saat menggunakan tas nusantara."
Para penulis buku Tas Nusantara Melintas Waktu yang diterbitkan Festival Tas Nusantara dan komunitas Nulis Aja Dulu/Foto: CANTIKA/Istimewa
Berbeda cerita dengan Agustina Kumala yang memilih tas manik Borneo. Kalimantan baginya seperti kembali ke pengalaman menyusuri Martapura, Kalimantan Selatan. Di sana pusatnya tas manik-manik yang mengusung kearifan lokal dengan motif unik yang khas dan cantik. Menariknya, Tas tersebut bukan sekedar tas untuk ditenteng atau untuk melengkapi penampilan semata. Melainkan ada filosofi yang menyertai tiap biji manik dan pola motifnya.
"Seperti manik berwarna merah, memiliki arti semangat hidup masyarakat Dayak, warna kuning sebagai simbol keagungan, warna biru adalah manifestasi dari sumber kekuatan, dan lain sebagainya. Selain itu, masyarakat Dayak percaya bahwa si pemilik manik-manik akan terhindar dari bala atau kesialan. Sehingga, ketika mereka melakukan perjalan jauh, maka tas manik motif tapak jalak kerap menjadi pilihan karena motif tersebut dipercaya dapat memberi keselamatan," papar Dosen Universitas Trunojoyo Madura ini.
Membincang tas, saat ini menurut Agustina tas Nusantara telah mengalami perkembangan yang teramat pesat. Baik dari segi cara pembuatan, bahan yang digunakan hingga motif dan corak yang semakin kreatif namun tetap mengusung khas dan kearifan lokal masing-masing daerah. Unik dan etnik membuat tas Nusantara dapat digunakan dan dicintai oleh siapa saja dan saya yakin eksistensinya akan awet sepanjang zaman.
Pilihan Editor: Akhir Pekan di Solo, Catat Waktu dan Agenda Festival Tas Nusantara yang Baru Pertama Digelar
Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika