3 Tips Terhindar dari Overclaim Produk Skincare ala Beauty Enthusiast David Lee Thompson

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Ilustrasi membersihkan wajah dengan toner. Shutterstock.com

Ilustrasi membersihkan wajah dengan toner. Shutterstock.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Tahun 2024 ini, tren overclaim semakin marak. Akun-akun review seperti @dokterdetektif di TikTok mulai bergerak untuk melindungi konsumen, termasuk David Lee Thompson, atau yang akrab disapa DLT. Sebagai seorang 'Beauty Enthusiast', DLT mengaku 'gerah' terhadap oknum yang melebih-lebihkan kandungan dalam sebuah produk skincare.

"Saya tidak tahan melihat konsumen di Indonesia tertipu oleh produk-produk yang overclaim dan overprice. Banyak dari mereka yang tidak sadar mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk suatu produk, namun tidak mendapatkan manfaat yang sesuai dengan yang mereka bayar," terang David Lee Thompson melalui siaran pers, Selasa, 1 Oktober 2024. 

Lebih jauh lagi, DLT juga menjelaskan bahwa tren overclaim ini juga seringkali ditambahkan dengan teknik marketing yang tidak etis. Mulai dari memberikan benefit beli produk berhadiah barang-barang bernilai fantastis, menggunakan jasa fake order agar produknya terlihat laris, hingga penggunaan buzzer yang membuat konsumen kesulitan mengidentifikasi review asli dari konsumen, atau merupakan sebuah rekayasa. 

Berupaya menghindari kemungkinan terburuk tersebut, DLT bersama dengan tim berusaha untuk memberikan edukasi-edukasi bagi masyarakat Indonesia, baik melalui sosial media maupun kepada rekan-rekan media yang bertanya. Mulai dari insight, hingga solusi DLT siap membantu para 'beautymania' (panggilan DLT bagi individu yang memiliki ketertarikan tinggi terhadap produk kecantikan untuk memberikan informasi yang dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat)

Pada kesempatan kali ini, DLT juga memberikan tips bagi para konsumen Indonesia agar dapat terhindar dari produk skincare dan kecantikan yang melakukan overclaim

1. Pastikan Klaim Teruji Secara Klinis

Mudahnya penjualan produk beauty di kanal e-commerce dan social commerce, mendorong pertumbuhan brand-brand besar maupun kecil secara masif. Menurut risetnya, sebagian besar brand melakukan strategi marketing overclaim untuk menarik minat pasar. Lebih jauh lagi, seringkali brand-brand tersebut tidak melalui prosedur yang tepat, sehingga tidak teruji secara klinis. Guna menghindari overclaim, pastikan kandungan-kandungan serta manfaat yang diklaim tersebut teruji secara klinis, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

2. Hindari Produk yang Memberikan Potongan Harga Terlampau Tinggi atau Gimmick Hadiah Premium Secara Rutin

Saat ini mudah ditemui berbagai produk kecantikan yang kerap kali mematok harga tinggi di pasar, namun secara rutin memberikan potongan harga di atas 40% atau 'gimmick giveaway' seperti emas atau produk-produk premium secara rutin. Hal ini menimbulkan indikasi bahwa tingginya harga produk bukan merupakan biaya produksi produk kecantikan tersebut.

3. Teliti Review Influencer atau Rekomendasi Brand Ambassador

Teliti terhadap rekomendasi orang-orang tertentu, seperti influencer dan brand ambassador. Menurut DLT, saat ini banyak sekali oknum-oknum yang hanya mementingkan benefit komersial yang ditawarkan oleh brand, tanpa memperhatikan kualitas produk sesungguhnya. Akibatnya saat ini kita dapat menemukan review-review 'palsu' dan berpotensi merugikan konsumen. Menurutnya, ada baiknya cek beberapa review dan tidak terpatok oleh satu influencer / brand ambassador saja. 

David Lee Thompson  juga tidak pernah lelah untuk mengingatkan para konsumen Indonesia untuk teliti sebelum membeli. Ia juga percaya bahwa 'produk skincare, body care atau kosmetik yang bagus tidak harus mahal'. "Jadi saat ini, seluruh konsumen beauty di Indonesia berhak untuk glowing, tanpa terkecuali. Selalu cek review produk dan reputasi brand saat membeli, ayo kita bangun iklim bisnis kecantikan yang sehat dan berkesinambungan!," tutup DLT. 

Kini, sosok di balik kesuksesan salah satu klinik kecantikan terbesar di Indonesia yang kini fokus pada misi yang lebih besar, 'mengedukasi masyarakat tentang dunia skincare'. Tergerak oleh maraknya kasus overclaim produk dan penggunaan marketing yang tidak etis, DLT memutuskan untuk membangun pabrik kosmetik sendiri. DLT bertujuan untuk memberikan akses bagi konsumen terhadap produk berkualitas dengan harga yang transparan.

Bukan asal bicara, pengalaman lebih dari 6 tahun di industri kecantikan, ditambah dengan pengalamannya selama 3 tahun sebagai Presiden Direktur Athena Group. Bisnis yang ia mulai sejak 2021 silam, dimulai dengan membangun pabrik dengan nama PT Athena Group Industri, yang terletak di Cikarang. Selain itu ia juga membangun pabrik kosmetik dan juga importir alat kesehatan, dengan tujuan agar publik dapat melihat langsung bahwa dalam pembuatan produk skincare, bodycare, maupun kosmetik dengan kualitas yang baik tidak perlu mahal. 

"Karena sebetulnya, biaya produksi dengan menggunakan bahan produk-produk beauty berkualitas tidaklah semahal yang dijual oleh beberapa produk yang ada di pasaran pada saat ini. Menurut saya terpenting dari pembuatan produk-produk beauty itu hanya pemilihan kandungan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan kulit konsumen Indonesia dan dilakukan sesuai dengan prosedur dan regulasi yang sudah ada," terang DLT.

DLT juga mengungkapkan ketakutannya pada situasi industri kecantikan pada saat ini, sebab ia kerap kali menemukan kasus overclaim sebagai strategi marketing yang tidak sehat. "Saya sangat khawatir, jika kasus overclaim ini dinormalisasi konsumen akan sulit percaya terhadap produk-produk beauty. Apabila ini berlangsung lama, bukan tidak mungkin jika konsumen 'kapok' dan tidak lagi menggunakan produk beauty, berujung kepada penurunan minat terhadap industri yang sedang berkembang ini," lanjut DLT.

Pilihan Editor: 5 Produk Skincare untuk Atasi Kulit Kering saat Puasa, Jangan Lupa Pelembap Bibir

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."