CANTIKA.COM, Jakarta - Sains berkontribusi dalam menyelamatkan kehidupan di bumi, baik kehidupan manusia, flora dan fauna – dari mahluk hidup terkecil hingga yang terbesar. Hal ini kembali terbukti saat para ilmuwan bekerja tanpa henti, siang dan malam selama berbulan-bulan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Walaupun perempuan peneliti tidak sebanyak laki-laki, tetapi kontribusi mereka sangatlah berarti.
Berikut daftar perempuan peneliti yang bersinar dengan hasil penelitian mereka:
1. Pratiwi Pujilestari Sudarmono
Pratiwi Sudarmono, astronaut perempuan pertama di Indonesia Kredit: spacefacts.de
Pratiwi Sudarmono adalah astronot perempuan pertama Indonesia. Mengutip dari laman Spacefact, spacefacts.de, lahir di Bandung, 31 Juli 1952, perempuan dengan nama lengkap Pratiwi Pujilestari Sudarmono merupakan salah satu ilmuwan asal Indonesia.
Masa SD dan SMP, Pratiwi habiskan di Kota Bandung sedangkan dirinya melanjutkan pendidikan SMA di salah satu sekolah di Kota Jakarta. Saat ini, dirinya duduk sebagai profesor mikrobiologi di Universitas Indonesia.
Pada 1977, Pratiwi lulus dan memperoleh predikat master dari Universitas Indonesia dengan jurusan kedokteran. Dirinya juga mendapat gelar Ph. D dari Universitas Osaka, Jepang pada 1984 dengan bidang biologi molekuler. Karir di dunia ilmiah, dimulai saat mendapat beasiswa dari World Health Organization (WHO) guna meneliti biologi molekuler Salmonella typhi. Puncaknya, pada 1985 dirinya turut ambil bagian dalam misi Wahana Antariksa NASA STS-61-H.
Keikutsertaannya dalam misi NASA berawal dari kemitraan antara Indonesia dan NASA dalam misi Space Shuttle atau Wahana Antariksa menggunakan pesawat ulang-alik Columbia, pada 24 Juni 1986 sebagaimana dikutip dari laman Ensiklopedia Jakarta, encyclopedia.jakarta-tourism.go.id. Setelah mengalahkan 207 kandidat calon astronot dari berbagai negara, Pratiwi ditunjuk sebagai spesialis muatan.
2. Amarila Malik
Amarila Malik. Dok.famasi.ui.ac.id
Guru Besar Mikrobiologi dan Bioteknologi Fakultas Farmasi Universitas Indonesia (UI) Prof. Amarila Malik menyatakan Indonesia termasuk negara megabiodiversity karena tercatat sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terkaya di dunia. Dengan keunggulan itu, Indonesia mampu mencapai kemandirian obat buatan dalam negeri dengan memanfaatkan sumber alami.
Amarila menilai Indonesia bisa memenuhi komponen produk farmasi yang dibutuhkan saat ini seperti bahan aktif obat, seperti eksipien, reagens, enzim, sistem ekspresi, dan system assays.
Untuk memenuhi ketersediaan bahan baku tersebut, rangkaian proses yang perlu dilakukan melalui tiga tahap, yaitu mandiri bahan baku, mandiri research and development, dan mandiri produksi.
Amarila yang menyampaikan paparan berjudul “Biodiscovery, Biotechnology, Dan Bioproduction Farma Untuk Kedaulatan Obat Asli Indonesia” dalam webinar Majelis Wali Amanat (MWA) UI Seri 2, Kamis (25/3/2021). Lewat gagasan itu, ia menjabarkan beberapa strategi untuk mencapai kemandiria dalamproduksi obat di Indonesia antara lain pembangunan infrastruktur industri bahan baku dalam negeri.
Strategi lain yang juga bisa ditempuh seperti mendorong berdirinya pabrik bahan baku, menggiatkan riset bahan baku dan fasilitas pilot scale secara sistematis dan berkelanjutan, serta penetapan paket-paket kebijakan ekonomi untuk mendorong pembangunan industri farma atau bahan baku.
Menurut Amarila, dalam rangka menemukan potensi bahan obat maka dilakukan serangkaian proses mulai dari pengolahan biodiversitas meliputi tumbuhan, lingkungan, mikroba sampai sumber DNA (deoxyribonucleic acid), yang melibatkan bioteknologi sehingga dapat memperluas keragaman bahan obat dan mendukung kemampuan produksi bahan obat di Indonesia.
“Sebagai contoh, negara adidaya produsen dan pengekspor bahan alami untuk obat, aromatika, rempah-rempah, adalah Republik Rakyat China yang mendiversifikasi bahan obat alaminya secara luas mencakup algae, bakteri, jamur kapang, dan lumut-lumutan,” kata Amarila.
3. Peni Ahmadi
Peneliti BRIN, Peni Ahmadi/Doc. Loreal
Menyadari bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan garis pantai terbesar ketiga di dunia dan keanekaragaman biota laut yang luar biasa kaya, Peneliti di Pusat Riset Bioteknologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Peni Ahmadi melihat potensi ini dapat dijadikan sebagai sumber bahan obat untuk berbagai penyakit, salah satunya kanker payudara.
Melalui penelitian yang ia lakukan, Peni berharap dapat menciptakan terapi yang dapat membantu menyembuhkan kanker payudara tanpa memberikan efek samping yang berbahaya bagi pasien. "Melalui sains, saya ingin berkontribusi menyelamatkan perempuan dari kanker payudara dengan memanfaatkan biota laut Indonesia yang sangat beraneka ragam."
Menurut Peni, senyawa bahan alam laut yang sudah dilaporkan sebanyak 34.000 senyawa bioaktif yang diisolasi dari bahan alam laut. Namun demikian, jumlah tersebut hanya menunjukkan sekitar 3% saja dari total biota laut yang ada di dunia.
“Laut masih menyimpan kekayaan luar biasa yang belum dianalisis. Laut memiliki biota laut terutama terutama invertebrata laut yang dapat dimanfaatkan sebagai senyawa bioaktif sebagai anti infeksi dan anti kanker khususnya kanker payudara,” imbuhnya.
Pada kesempatan tersebut Peni mengungkapkan permasalahan kanker yang ada saat ini. Sebenarnya sudah ada para peneliti yang mengembangkan metode atau terapi untuk mengatasi kanker khususnya kanker payudara. “Namun dari terapi yang sudah dikembangkan ada beberapa efek samping yang cukup berbahaya atau bahkan lebih berbahaya dari kanker itu sendiri seperti pembekuan darah yang dapat menyebabkan kematian pasien,” ungkapnya.
Hipotesis dari penelitian yang dilakukan Peni adalah menemukan bahan senyawa alam yang dapat digunakan atau bermanfaat pada dunia farmasi yang dapat membantu menyembuhkan kanker payudara tanpa menyebabkan efek samping. Tujuan penelitiannya untuk menemukan senyawa antikanker yang unik dan ampuh khususnya untuk antikanker payudara yang diisolasi dari biota laut di pesisir Indonesia.
4. Fransiska Krismastuti
Peneliti BRIN, Fransiska Sri Herwahyu Krismastuti/Foto: Doc. Loreal
Fransiska Krismastuti adalah peneliti di Pusat Riset Kimia, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang meraih penghargaan L'Oréal-UNESCO for Women in Science 2021:
Memiliki gelar Ph.D. di bidang Materials and Minerals
Menunjukkan ketertarikan pada dunia sains sejak kuliah
Meneliti limbah galvanisasi yang dapat menjadi solusi penyembuhan luka kronis akibat diabetes.
Peneliti Fransiska Sri Herwahyu Krismastuti mengajukan topik riset berjudul Zinc oxide Nanostructures from Galvanization Waste as Chronic Wound Prognostics.
Ia menuturkan limbah galvanisasi mengandung zinc yang dapat diolah menjadi nano Zinc oxide (ZnO) dan pewarna alami dari kubis ungu yang dapat dimanfaatkan untuk prognosis luka kronis pada pasien diabetes.
"Melalui sains, saya ingin berkontribusi menyelamatkan kehidupan manusia khususnya penderita luka kronis akibat diabetes dengan memanfaatkan limbah galvanisasi."
Fransiska memiliki ketertarikan dalam dunia sains berawal di bangku kuliah. Ia melihat bahwa limbah galvanisasi ternyata memiliki khasiat baik bagi penderita luka kronis akibat diabetes dan tertarik untuk meneliti lebih jauh bagaimana limbah ini dapat menjadi solusi penyembuhan. Ia berharap dapat menggunakan ZnO dari limbah industrial galvanisasi (pelapisan baja) dan pewarna alami ANT dari kol ungu sebagai alat prognostik luka kronis yang mampu mencegah pertumbuhan bakteri pada luka dan mendeteksi kemajuan pada proses penyembuhan luka yang bisa dilakukan secara mandiri oleh pasien.
5. Puji Budi Setia Asih
Puji Budi Setia Asih. Dok.LinkedIn
Pakar malaria dari Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman dan BRIN. Ia terlibat dalam beberapa proyek penelitian, seperti mekanisme molekuler yang mendasari resistensi Plasmodium terhadap obat antimalaria.
Puji Budi Setia Asih, Peneliti Ahli Utama, PRBME BRIN, memberikan paparan dengan judul “Identification of novel PMCA4 inhibitor(s) as antimalarial compound". Ia menjelaskan bahwa tiga pilar program pengendalian malaria di Indonesia, yaitu diagnosis cepat dan pengobatan tepat, penggunaan kelambu berinsektisida (LLINs) secara berkelanjutan, dan penyemprotan dinding rumah dengan insektisida (IRS) dalam ruangan.
Menurutnya, tiga pilar pengendalian malaria tersebut memang telah berhasil menurunkan angka kejadian malaria di dunia termasuk di Indonesia, namun sayangnya masih ditemukan kasus-kasus malaria pada daerah-daerah tertentu. Salah satu penyebabnya adalah sektor malaria yang resisten terhadap insektisida juga parasit yang telah resisten terhadap obat-obat antimalaria yang ada. Oleh karena itu, diperlukan obat antimalaria baru yang menampilkan jalur biokimia berbeda dari yang sudah ada.
Dijelaskannya, Protein Plasma membrane Calsium2+ ATPase (PMCA4) mengatur konsentrasi kalsium di dalam sel termasuk sel darah merah normal dan juga sel darah merah-terinfeksi Plasmodium malaria. Pompa protein PMCA4 mengatur dan mengeluarkan kalsium dari sitoplasma sel ke bagian luar sel. Dengan demikian, peran protein PMCA4 sangat penting dan krusial. Sementara itu, Genome-wide association studies (GWAS) serta hasil penelitian di Afrika menginformasikan beberapa polimorfisme pada gen ATP2B2 yang menyandi protein PMCA4, menunjukkan hubungan antara resistensi malaria dan tingkat keparahan penyakit malaria.
“Kami mencoba menguji potensi hambatan inhibitor protein PMCA4 terhadap pertumbuhan parasit malaria secara kultur in vitro, serta menyelidiki apakah polimorfisme pada gen ATP2B2 yang menyandi protein PMCA4 berhubungan dengan resistensi dan keparahan malaria pada populasi di Indonesia,” ungkapnya.
Sementara inhibitor yang digunakan untuk pengujiannya adalah Resveratrol yang merupakan senyawa murni dari senyawa alami yang berkontribusi pada mekanisme pertahanan seluler ditanaman. Penggunaannya sebagai nutrisi ataupun suplemen pada suatu penyakit. Resveraterol banyak ditemukan pada kulit anggur merah.
“Selain menggunakan Resveratrol, kami juga menggunakan Aurintricarboxilic acid (ATA), yaitu senyawa kimia yang mudah larut dalam air, membentuk radikal bebas yang dapat menghambat interaksi antarprotein,” ungkap Puji.
“Dari hasil uji inhibitor diperoleh bahwa bukti bahwa pada parasit malaria secara kultur in vitro Plasmodium falciparum 3D7 yang ditambahkan konsentrasi ATA dengan berbagai konsentrasi, menunjukkan pola yang tergantung dosis (dose dependent) dengan hambatan yang sangat lemah pada konsentrasi yang lebih rendah. Sementara hambatan yang nyata terjadi pada dosis yang lebih tinggi,” pungkasnya.
Kesimpulan dari paparannya, Puji Budi Setia Asih menyampaikan bahwa uji in vitro P. falciparum menunjukkan penurunan yang nyata pada pertumbuhan parasit terhadap pengobatan beberapa inhibitor protein PMCA4 (Resveratrol ataupun ATA). PMCA4 mungkin dapat merupakan “target site baru” yang menjanjikan untuk pengembangan obat antimalaria ke depannya, dan hasil skrining polimorfisme pada gen penyandi protein PMCA4 (ATP2B2) yang berhubungan dengan manifestasi klinis infeksi malaria di Indonesia menunjukkan frekuensi yang sangat rendah.
Halaman