CANTIKA.COM, Jakarta - Memperingati Hari Anak Perempuan Internasional yang jatuh setiap 11 Oktober, Yayasan Plan International dan Geena Davis Institute on Gender in Media (GDIGM) menyoroti seksisme di industri film dan iklan melalui laporan terbaru bertajuk "Rewrite Her Story".
Laporan tersebut dibuat berdasarkan opini lebih dari 10.000 anak perempuan di beberapa negara. Mereka menganalisis 56 film terlaris 2018 di 20 negara dan 108 iklan di 5 negara. Di sana tergambar bagaimana media berdampak pada kehidupan dan opini anak perempuan. Potret perempuan dan pemimpin yang kerap tampil di layar kaca sangat mempengaruhi bagaimana anak perempuan menilai dirinya serta melihat konsep kepemimpinan.
Aktris Hollywood, Geena Davis, menegaskan bahwa, “Film dan media berpengaruh hebat pada cara pandang anak perempuan terhadap dirinya sendiri dan cara dunia melihat mereka. Anak perempuan perlu melihat diri dan karakter mereka tercermin di layar kaca.”
Davis menambahkan, “Karakter positif dan autentik dapat menginspirasi mereka untuk berkembang. Pembuat konten di industri media dan entertainment berkesempatan mempengaruhi aspirasi anak perempuan dengan cara menghentikan stereotipe gender yang merusak.”
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia, Dini Widiastuti menyatakan dalam keterangan resmi yang diterima Tempo, “Defisit representasi positif perempuan di media dapat berdampak pada gambar diri anak perempuan. Media massa, pengiklan, dan praktisi perfilman bisa bekerjasama mengurangi defisit ini dan membuka ruang lebih luas untuk narasi positif tentang perempuan dan perempuan pemimpin. Andai lebih banyak lagi profil perempuan sebagai pemimpin ada di media dan film, niscaya akan lebih mudah bagi anak-anak perempuan untuk membayangkan dirinya menjadi pemimpin.”
Beberapa temuan menarik dari "Rewrite Her Story" di antaranya hampir seluruh responden (94%) berpendapat bahwa perempuan pemimpin tidak mendapat perlakukan sebaik laki-laki pemimpin. Aktris - sekalipun berperan sebagai pemimpin - lebih sering dikomodifikasi secara seksual dibanding aktor.
Ilustrasi perempuan sedang syuting video. (Unsplash/Sam McGhee)
Tokoh perempuan dalam film empat kali lebih sering ditampilkan berbusana terbuka dibanding laki-laki (30% banding 7%) dan hampir 2 kali lebih sering tampak separuh telanjang. Perempuan juga dianggap lebih efektif menjadi pemimpin di keluarga dan komunitas (81%) dibanding laki-laki (62%).
Sementara, laki-laki digambarkan lebih efektif menjadi pemimpin di tingkat nasional (57%) dibanding perempuan (44%). Ini semakin memperkuat peran domestik perempuan dan peran laki-laki di ruang publik. Karakter pemimpin dalam film juga masih didominasi oleh pria (42%) dibanding wanita (27%). Jumlah aktor, frekuensi kemunculan dan porsi bicaranya juga dua kali lebih banyak dibanding aktris.
Beberapa perempuan pembuat film turut diwawancara untuk melihat partisipasi mereka di industri film. Hasilnya pun ternyata masih minim. Dari 250 film terlaris 2018 di Amerika, hanya 20% perempuan yang menempati posisi sutradara, penulis, produser, editor, dan sinematografer.
Bahkan, hanya sekitar 2 dari 250 film tersebut yang mempekerjakan setidaknya 10 perempuan dalam satu produksi film yang sama. Sementara, sekitar 185 film lainnya mempekerjakan lebih dari 10 laki-laki untuk posisi kunci di atas.
Asumsi sosial yang mereduksi ruang gerak perempuan di sekitar sumur, dapur, dan kasur juga mendapat protes dari anak-anak yang turut mengevaluasi 108 iklan di Jepang, India, Republik Dominika, Senegal, dan Sudan Selatan.
Mereka mengkritisi komodifikasi tubuh perempuan untuk promosi produk, tuntutan bahwa model perempuan harus cantik, dan ruang gerak perempuan yang dibatasi di-setting rumah. Sementara itu, laki-laki digambarkan sebagai pemimpin dan lebih cerdas.
Ilustrasi dua perempuan sedang beradegan dalam suatu rekaman video. (Unsplash/CoWomen)
Di konteks Indonesia, opini serupa terlihat dari hasil online polling yang dilakukan Plan Indonesia dan U-Report dengan responden 2968 anak laki-laki dan perempuan berusia 12-18 tahun. Sebanyak 85.3% responden menyatakan perempuan kerap ditampilkan sebagai korban kekerasan seksual dan 77.2% berpendapat bahwa laki-laki lebih sering ditokohkan sebagai pemimpin dalam tayangan media.
Yayasan Plan International Indonesia bekerja di Indonesia sejak 2 September 1969 berdasarkan Nota Kesepahaman dengan Pemerintah Republik Indonesia. Pada 15 Juni 2017, yayasan ini telah disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Tujuan terbentuknya demi menjangkau lebih banyak anak, khususnya anak perempuan Indonesia, serta memberikan dampak pembangunan berkelanjutan melalui kemitraan jangka panjang dan penggalangan sumber daya yang lebih luas.