CANTIKA.COM, JAKARTA - Keterwakilan perempuan di parlemen pada 2019 mencapai 20,5 persen atau sebanyak 118 perempuan dari total 575 anggota parlemen. Dalam keterwakilan itu, politisi Tsamara Amany ungkap dunia politik masih identik dengan ruang maskulin dan rentan ujaran kebencian dari laki-laki maupun sesama kaum Hawa.
"Saya sering misalnya di kegiatan atau rapat-rapat anggotanya laki-laki. Saya sampai berpikir, kok, ternyata saya perempuan sendiri, ya," ucap Tsamara yang ditemui dalam diskusi Generation Equality yang diselenggaran UN Women di Jakarta, Senin 9 Desember 2019.
Lebih lanjut, perempuan kelahiran Jakarta 24 Juni 1996 ini berkisah kerap mengalami posisi diremehkan dan diabaikan. Seolah-olah ia menjadi politisi perempuan ialah faktor keberuntungan, bukan karena memang prestasi dan kapabilitas.
"Memang ya dibungkus dengan canda, tapi kontennya sama menganggap saya hanya beruntung. Misalnya pernyataan seperti ini, 'Sini ya dinda abang ajari soal politik itu seperti apa, supaya kamu paham'," ucap Tsamara memberi contoh.
Kondisi tersebut tak hanya dirasakan dalam kehidupan nyata, tetapi juga di platform media sosial. Mirisnya, ujaran kebencian bahkan sampai kata-kata kasar untuk Tsamara justru datang dari sesama perempuan sendiri.
"Dari kenyataan yang kerap aku alami tersebut aku percaya kalau kalau kebencian terhadap gender itu nyata adanya. Sebab aku dan suami juga mengalaminya langsung," ungkap alumnus Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina ini.
Jadi, menurut Tsamara mental patriarki itu bukan melulu datang dari laki-laki, tapi juga perempuan, semua gender yang masih memilikinya. "Sangat menyedihkan, ya, rasanya dan semakin sedih kalau kita terkadang masih denial pada kenyataan demikian," tandas istri Ismail Fajrie Alatas ini.