CANTIKA.COM, Jakarta - Pembicaraan mengenai seks kerap dianggap tabu. Bahkan karena ranahnya pribadi acapkali dihindari. Padahal, anak-anak, harus mengetahui pendidikan seks sejak dini untuk kehidupan dan perlindungan mereka kelak.
Pendidikan seks untuk anak-anak, memiliki peran yang sangat krusial, untuk kehidupan seks serta kesehatan reproduktif mereka, di masa depan. Sebab, tanpa pendidikan seks yang baik, anak-anak bisa terpapar terhadap dampak negatif dari pertemanan yang berisiko.
Sebagai orang tua, mungkin Anda juga masih bingung dengan pemilihan bahasa dan cara yang baik, saat berbicara tentang pendidikan seks, dengan anak-anak. Maka dari itu, berkonsultasi dengan psikolog, adalah hal yang tepat, untuk membantu Anda supaya nyaman saat berbincang kepada mereka.
Marcelina Melisa, M.Psi., Psikolog, seorang psikolog anak dari lembaga konsultasi psikologi TigaGenerasi, menjabarkan pentingnya pendidikan seks untuk anak. Ia juga menyampaikan beberapa saran untuk orang tua yang sedang bingung mencari cara memberikan pendidikan seks dengan tepat untuk anak-anak mereka.
Pendidikan seks identik dengan pengetahuan yang diberikan, saat anak menginjak masa pra-pubertas atau pubertas. Namun sebenarnya, menurut Marcelina, pendidikan seks penting diberikan sejak dini, melalui penyampaian materi yang disesuaikan dengan rentang usia anak.
Sebab, kesadaran akan kepemilikan tubuh, awareness, serta kesehatan dan kebersihan tubuh harus dilatih sejak dini.
Hal yang juga penting adalah keterbukaan anak semenjak kecil dalam membicarakan hal yang pribadi dengan orang tua, karena anak akan banyak memiliki pertanyaan. Sebab itu, orang tua bersama dengan tenaga kependidikan lainnya, diharapkan menjadi sumber informasi utama bagi anak.
Siapa yang memegang peranan terpenting dalam pendidikan seks untuk anak?
Marcelina mengatakan orang tua tentunya memegang peranan utama, karena rumah dan keluarga merupakan tempat pendidikan anak yang utama. Sebagian orang tua menggantungkan pemberian pendidikan seks pada sekolah, namun sebaiknya orang tua selalu menjadi figur pendidik yang pertama.
Sebab, setiap orang tua tentunya memiliki nilai yang ingin diajarkan. "Nilai yang ingin diajarkan oleh satu orang tua berbeda dari orangtua yang lain," ujarnya. Oleh karena itu, orang tua lah yang memberikan batasan, sesuai dengan nilai yang ingin diajarkan.
Selain itu, anak dapat berpindah sekolah, dan tugas guru sangatlah terbatas. Oleh karena itu, orangtua harus menjadi sosok yang membuat anak nyaman menceritakan segala sesuatu mengenai dirinya.
Mengajarkan anak dilakukan secara bertahap, sesuai dengan rentang usia dan tugas perkembangannya. Saat anak mulai berusia 2 tahun, penting untuk memulai toilet training. Saat anak buang air kecil/besar, biasakan anak selalu menutup pintu. Tujuannya agar anak mempersepsikan bahwa aktivitas tersebut bersifat pribadi. Anak dapat membuka pintu setelah selesai untuk dibantu membersihkan.
Bagaimana untuk anak yang berusia 3 tahun ke atas?
Saat anak berusia 3-5 tahun, berikan pemahaman melalui berbagai contoh mengenai anggota tubuhnya yang tidak boleh disentuh orang lain, terutama lawan jenisnya. "Anak juga belajar merespons saat dirinya merasa tidak nyaman," ujar Marcelina.
Anak berusia 6-11 tahun (sampai dengan masa pra-pubertas) dapat diberikan pengetahuan mengenai perbedaan laki-laki dan perempuan, cara menjaga kesehatan dan kebersihan tubuh terutama organ reproduksi, serta persiapan yang dilakukan menjelang pubertas.
Remaja usia 12-16 tahun dapat diajarkan mengenai pemikiran jangka panjang atas konsekuensi akibat keputusan yang mereka ambil terhadap diri sendiri.
Bagaimana cara yang efektif untuk memberikan pemahaman mengenai “dampak negatif pertemanan”?
Anak sedari dini perlu diajarkan untuk memikirkan konsekuensi setiap kali akan melakukan sesuatu. Dengan demikian cara berpikir ini akan terbawa sampai ia berada pada masa pubertas dan harus bertanggung jawab pada tubuhnya sendiri.
Saran terbaik apa yang bisa diberikan pada orangtua, agar bisa menjadi “tempat curhat” anak-anaknya, termasuk dalam hal seksualitas?
"Jadikan pembicaraan mengenai seksualitas sebagai pembahasan yang tidak tabu, melainkan hal yang ilmiah dan wajar untuk dibicarakan. Namun tekankan juga kepada siapa dan dalam situasi yang seperti apa mereka boleh membicarakannya," tambah ia.
Bagaimana sebaiknya menjawab pertanyaan seksual dari anak?
Marcelina mengatakan agar membiasakan menggunakan istilah ilmiah dalam menyebut bagian tubuh. Jika istilah ilmiah dirasakan terlalu formal, orang tua dapat menggunakan sebutan yang sesuai dengan fungsi organ, misalnya alat kelamin.
Hindari menggunakan istilah yang dapat membingungkan anak. Dengan terbiasa menggunakan nama ilmiah anggota tubuh, hal ini juga akan mengurangi ketabuan anak dalam membicarakan tubuhnya sendiri.
Bagaimana cara merespons pertanyaan seksual dari anak-anak?
Usahakan sebisa mungkin untuk tidak menghakimi anak saat ia ingin membicarakan topik seksualitas. Jaga ekspresi wajah, nada suara, bahasa tubuh, dan respons secara general saat anak bercerita atau bertanya. Melalui cara ini, anak akan merasa nyaman dengan orang tua.
Marcelina mengungkapkan, orang tua tidak perlu menjawab pertanyaan saat itu juga. Jika tidak tahu atau kurang yakin, orang tua dapat mencari melalui sumber yang terpercaya. Orang tua juga dapat meminta bantuan tenaga profesional untuk menjelaskan topik yang sensitif, atau jika merasa kurang mampu dalam memberikan penjelasan.