CANTIKA.COM, Jakarta - Perilaku laktasi di Indonesia, terutama di kalangan ibu pekerja, belum menunjukkan perbaikan signifikan. Cakupan pemberian air susu ibu atau ASI eksklusif nasional belum menunjukkan peningkatan berarti.
Menurut Riskesdas 2003 hingga 2018, prevalensi ASI eksklusif nasional hanya berkisar antara 32 persen hingga 38 persen. Artinya, dalam 15 tahun cakupan ASI eksklusif di Indonesia masih jalan di tempat dan sangat jauh dari target nasional, yaitu 80 persen.
Penelitian berjudul Breastfeeding Knowledge, Attitude, and Practice among White-Collar and Blue-Collar Workers in Indonesia yang dipublikasikan di jurnal internasional JKMS 2019 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu pekerja di Indonesia masih memiliki pengetahuan dan perilaku yang kurang baik terhadap menyusui.
Bertepatan dengan momentum Hari Ibu 2019, Health Collaborative Center menegaskan kepada pemerintah untuk tidak menomorduakan upaya peningkatan kualitas laktasi Ibu Indonesia, terutama ibu pekerja yang jumlahnya dan partisipasi kerja yang semakin tinggi.
Menurut peneliti Ray Wagiu Basrowi dari Iluni magister kedokteran kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, lebih dari 70 persen ibu Indonesia yang merupakan pekerja buruh dan sedang masa menyusui, sama sekali tidak mengerti bahwa menyusui merupakan perilaku sehat yang bisa bermanfaat bagi tumbuh kembang bayi dan kesehatan ibu itu sendiri.
Ray Wagiu Basrowi, Iluni MKK Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saat ditemui di acara Diskusi Laktasi, Jumat, 20 Desember 2019 (TEMPO/Eka Wahyu Pramita)
"Bahkan hampir 50 persen ibu Indonesia menyusui yang bekerja di kantoran belum mengetahui bahwa peraturan pemerintah bisa melindungi mereka untuk bisa bebas menyusui atau memompa ASI di kantor tanpa harus takut mendapat sanksi," kata doktor di bidang ilmu kedokteran kerja itu dalam pemaparan diskusi Laktasi Health Collaborative Center di Jakarta, Jumat, 20 Desember 2019.
Ray mengatakan, hal yang menyedihkan adalah kondisi ini masih mirip dengan temuan-temuan pada penelitian mengenai laktasi sejak lebih dari satu dekade silam. Artinya, status pengetahuan dan kualitas perilaku laktasi ibu Indonesia, terutama pekerja, tidak membaik secara signifikan.
"Perkembangan teknologi informasi dan digital di Indonesia yang kelihatannya semakin banyak mengkomunikasikan menyusui dan laktasi kenyataannya kurang efektif memberi daya ungkit terhadap pengetahuan laktasi sehingga perilaku menyusui juga tidak secara signifikan membaik," ucap Ketua Health Collaborative Center ini.
Melihat fakta di atas, peringatan Hari Ibu yang jatuh pada 22 Desember dinilai Ray masih bersifat seremonial. Ibu Indonesia masih struggling dengan hak laktasi. "Paradigma sehat sebagai hak ibu dilihat bukan dari momen emosionalnya saja, tapi lebih penting ialah hak kesehatan mereka," ujar dia.
EKA WAHYU PRAMITA