CANTIKA.COM, Jakarta - Sebagai konsumen busana muslim terbesar ketiga di dunia, Indonesia menghabiskan sebesar US$20 miliar atau sekitar Rp 300 triliun per tahun. Kondisi itu yang mendorong pemerintah beberapa tahun lalu menargetkan Indonesia sebagai kiblat fashion muslim dunia pada tahun 2020. Seperti apa perkembangannya?
National Chairman Indonesia Fashion Chamber Ali Charisma mengatakan, industri fashion muslim Indonesia telah mengalami peningkatan yang signifikan yang juga menawarkan keragaman konten lokal yang tidak dimiliki oleh negara lain. Namun di beberapa hal diakuinya memang masih terdapat tantangan untuk mencapai target sebagai kiblat fashion muslim dunia.
"Langkah berikutnya menurut saya begini, secara realistis bagaimana busana muslim lokal bisa menguasai pasar dalam negeri. Sementara kita, kan bersaing dengan mass production brand dari luar negeri dengan perputaran model yang lebih cepat dan jumlah yang banyak," ucapnya usai ditemui usai konferensi pers Muslim Fashion Festival (MUFFEST) di Jakarta, Senin, 27 Januari 2020.
Ali juga tidak memungkiri jika para hijaber di Indonesia lebih menyukai dan mengejar brand dari luar negeri lantaran persoalan harga yang lebih terjangkau dan merek luar negeri masih memiliki pamor kualitas.
"Secara kualitas desain dan perancang busana kita sudah bisa bersaing, namun masih ada anggapan jika merek luar negeri jauh lebih keren, lebih trendi. Nah, hal-hal seperti itulah yang sedang kita coba cari solusinya," ungkap Ali.
National Chairman Indonesian Fashion Chamber Ali Charisma saat ditemui usai konferensi pers Muslim Fashion Festival (MUFFEST) di Jakarta, Senin 27 Januari 2020. TEMPO/Eka Wahyu Pramita
Menyoal kualitas, dalam rangka mewujudkan target, pihaknya juga sedang gencar mengampanyekan konsep sustainable dan etichal fashion. "Kami mulai dari workshop yang nanti akan digelar di MUFFEST dengan harapan bisa memberikan insight baru kepada para desainer soal pentingnya sustainable fashion," ucapnya.
Jika para desainer Indonesia sudah mulai menerapkan konsep sustainable fashion, maka jalan untuk mengadopsi slow fashion yang lebih ramah lingkungan juga bisa terwujud.
"Jika masyarakat terbiasa menggunakan slow fashion maka akan lebih menghargai kualitas yang ramah lingkungan tidak impulsif hanya mengumpulkan secara kuantitatif," tutur Ali.
Selain itu, potensi pasar fashion muslim masih terbuka lebar, namun kompetisi lokal maupun global juga semakin ketat. Oleh karena itu, menurutnya pelaku mode nasional harus mampu menangkap perubahan, berkreativitas dan berinovasi, meningkatkan produktivitas serta memperkuat merek sehingga mampu memenangkan pasar lokal maupun global.
EKA WAHYU PRAMITA