CANTIKA.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang atau RUU Ketahanan Keluarga memunculkan pro dan kontra dalam masyarakat terutama dalam media sosial. Beberapa pasal dianggap terlalu jauh mengurusi urusan personal warga negara dan dinilai cukup kontradiktif dari satu pasal ke pasal lain.
Salah satu pasal yang disoroti ialah pasal 77 di mana, pemerintah pusat dan daerah wajib memfasilitasi keluarga yang mengalami “krisis keluarga” lantaran tuntutan pekerjaan.
Tertuang dalam Ayat 2 dalam Pasal 77, “tuntutan pekerjaan” dimaknai sebagai kondisi di mana orang tua bekerja di luar negeri, kedua orang tua atau salah satu orang tua bekerja di luar kota, salah satu atau kedua orang tua bekerja dengan sebagian besar waktunya berada di luar rumah, atau kedua orang tua bekerja.
Penggunaan istilah “krisis keluarga” amat penting sebab menurut pasal 1, istilah tersebut mengacu pada keluarga yang “dalam keadaan tidak stabil, tidak terarah, dan dianggap membahayakan karena dapat membawa perubahan negatif pada struktur dan fungsi keluarga.
Lantas bagaimana dengan kondisi keluarga yang tidak lengkap, yakni anak-anak hanya tinggal dengan salah satu orang tua baik ayah atau pun ibu?
Merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat sedikitnya 345 ribu kasus talak dan cerai di Indonesia pada 2015. Temuan dari Kementerian Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak juga mendapati bahwa di Indonesia, setidaknya 7 juta perempuan berperan sebagai orang tua tunggal dan kepala keluarga.
Founder Komunitas Single Moms Indonesia (SMI) Maureen Hitipeuw. Foto: Dok. Pribadi
Pendiri Single Moms Indonesia (SMI) Maureen Hitipeuw menyatakan jika terdapat peraturan apa pun yang mengaku hendak mempertahankan dan melindungi keluarga semestinya mempertimbangkan kondisi ibu tunggal seperti mereka.
"RUU Ketahanan Keluarga, khususnya yang mewadahi kebutuhan keluarga juga diharapkan bisa ramah bagi orang tua tunggal, khususnya ibu tunggal," ujar Maureen yang telah membangun SMI sejak 2014 ini saat dihubungi Tempo.co pada Sabtu, 22 Februari 2020.
Menurut perempuan kelahiran 2 Maret 1979 problem ibu tunggal itu kompleks, dan hadirnya aturan itu diharapkan bisa ramah untuk para ibu tunggal serta ada keberpihakan juga pertimbangan khusus. Sebab, meski sudah ada klausul yang mengakui kondisi ibu tunggal, tapi sampai sekarang belum ada yang konkret dilakukan.
"Kalau menilik salah satu orang tua diminta salah satu bekerja, sementara lainnya di rumah mengurus keluarga, bagaimana dengan kondisi ibu tunggal yang hanya sendiri. Kan juga tidak mungkin kalau tidak bekerja untuk membesarkan anak dan melanjutkan hidup," ujar ibu tunggal dengan putra berusia 13 tahun ini.
Maureen berharap ada pasal yang lebih detail dan spesifik membahas kebutuhan ibu tunggal. "Misalnya hak anak-anak dengan kondisi orang tua berpisah masih bisa mendapat perlindungan dan kesejahteraan. Krisis tersebut menurut aku lebih penting juga untuk dibahas lebih lengkap," ucap Maureen.
Kebutuhan lain yang lebih konkret lagi mengenai keterbukaan lapangan pekerjaan yang lebih ramah bagi ibu tunggal. Tak hanya itu, saat anak-anak dititipkan pada daycare atau penitipan anak selama bekerja bisa mendapatkan harga khusus atau subsidi silang.
"Paling tidak kebijakan tersebut bisa meringankan beban ibu tunggal tanpa memandang latar belakang si perempuan yang hidup sendiri karena kondisi apa, ditinggal meninggal, berpisah atau hamil di luar nikah misalnya," pungkas Maureen.
Draf RUU ketahanan Keluarga merupakan usulan dari sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di antaranya Sodik Mudjahid dari Partai Gerindra, Endang Maria dari Partai Golkar, Ali Taher dari Partai Amanat Nasional, serta dua anggota dari Partai Keadilan Sejahtera Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa.