Pahami Dampak Gangguan Tiroid pada Kesuburan dan Ibu Hamil

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Ilustrasi tiroid. Shutterstock

Ilustrasi tiroid. Shutterstock

IKLAN

CANTIKA.COM, JAKARTA - Saat ini masyarakat masih kurang memahami dampak gangguan tiroid yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati terhadap kesuburan beserta kesehatan ibu dan bayi. Hal itu diungkapkan dalam survei yang dilakukan oleh YouGov untuk Merck pada 24 Maret - 6 April 2020 dengan total responden sebanyak 2.147 orang dewasa.

Hasil survei tersebut dirilis dalam rangka peringatan Pekan Kesadaran Tiroid International Thyroid Awareness Week (ITAW) ke-12 pada 25-31 Mei 2020 yang memfokuskan pada ‘Ibu dan Bayi’.

Di Indonesia, sedikitnya 17 juta orang mengalami gangguan tiroid dan hampir 60 persen dari mereka saat ini yang hidup dengan gangguan tiroid tidak terdiagnosis. Selain itu, satu dari delapan wanita mengalami gangguan tiroid seumur hidupnya.

Dari hasil survei juga menunjukkan hanya 14 persen responden yang memahami bahwa gangguan tiroid yang tidak terdiagnosis dapat menyebabkan gangguan kesuburan dan 42 persen tidak mengetahui bahwa hipotiroid (tiroid yang kurang aktif) di masa kehamilan dapat menyebabkan komplikasi bagi ibu dan bayi.

Menyimak hasil survei di atas, Presiden Thyroid Federation International Ashok Bhaseen dan Co-founder Thyroid Change Denise Roguz satu suara menyuaraka pentingnya peningkatan edukasi mengenai dampak dari gangguan tiroid yang tidak diobati terhadap kesuburan dan kesehatan ibu hamil beserta bayinya.

Ashok Bhaseen mengatakan gangguan tiroid tidak hanya memengaruhi
kehamilan. Ibu hamil dengan riwayat gangguan tiroid juga bisa mengalami komplikasi dan bayi dapat terlahir dengan kelenjar tiroid yang tak berfungsi dengan baik.

Denise Roguz menambahkan sebaiknya semakin banyak wanita mendapatkan skrining kadar hormon tiroid secara lengkap dan semakin banyak dokter yang paham nilai kadar hormon tiroid yang optimal selama kehamilan.

"Hal ini untuk memastikan kesehatan sebelum, selama dan setelah kehamilan sehingga mereka tidak akan menderita selama masa penting kehidupan tersebut," tutur Denise dalam siaran pers Merck yang diterima Cantika pada Kamis, 28 Mei 2020.

Dari hasil survei juga ditunjukkan 42 persen responden paham bahwa sangat penting untuk memeriksa kadar hormon tiroid selama masa kehamilan.

Lalu hanya 25 persen responden yang paham bahwa wanita yang sebelumnya tidak memiliki riwayat gangguan tiroid dapat mengalami gangguan tiroid dalam satu tahun setelah melahirkan; sebuah kondisi yang disebut dengan tiroiditis pasca-melahirkan.

Selain itu, 35 persen responden paham bahwa bayi baru lahir (kurang dari satu bulan) harus diperiksakan apakah mengalami hipotiroid kongenital (tiroid kurang aktif yang muncul akibat bawaan lahir), seandainya ternyata bayi lahir dengan kelenjar tiroid yang tidak berkembang dan membutuhkan pengobatan.

Sementara itu, Presiden Direktur PT Merck Tbk Evie Yulin juga menyuarakan pentingnya meningkatkan kesadaran akan dampak gangguan tiroid yang tidak diobati terhadap kesehatan para ibu dan bayi.

"Kami percaya dengan akses terhadap informasi yang tepat, masyarakat dapat mengenali gejala-gejala gangguan tiroid dan tahu kapan harus memeriksakan diri ke dokter serta melakukan tes darah sederhana untuk memeriksa fungsi kelenjar tiroid mereka,” ungkapnya.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."