CANTIKA.COM, JAKARTA - Menghadapi situasi New Normal akibat pandemi Covid-19 bukan hal mudah bagi setiap orang, termasuk anak-anak. Mengutip The Union Journal, ada berbagai dampak yang bisa terjadi pada anak. Di antaranya perilaku regresif misalnya anak mengalami kemunduran dalam bersikap dan berperilaku, perubahan nafsu makan, dan mengalami gangguan tidur.
Selain itu, bisa juga mempengaruhi suasana hati seperti mudah marah dan menangis, mencari jaminan perlindungan dari orang tua, keluhan somatik, hingga sulit berkonsentrasi.
Menurut psikolog dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), Debora Basaria, kondisi psikologis anak-anak juga sama rentannya seperti orang tua dalam situasi tidak menentu. Walaupun mungkin anak-anak tidak begitu mengerti tentang kondisi saat ini, anak-anak juga dapat merasa tertekan akibat rasa takut, cemas, dan kebingungan yang dilihat dari lingkungan di sekitarnya.
"Kondisi masing-masing anak bisa jadi berbeda, tergantung pada pemaknaan anak itu sendiri,” ujar Debora dalam siaran pers Webinar Bincang Ahli dan Kelas Inspirasi Anak (BAKIAK) tentang ‘New Normal dan Kesehatan Jiwa Bagi Anak’ yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada Kamis, 2 Juli 2020.
Menurut Debora, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi dampak tersebut. Bagi orang tua, jelaskan pada anak kondisi saat ini dan hal yang harus mereka antisipasi, gunakan bahasa yang sederhana dan konkret. Luangkan waktu lebih, dukung anak selama belajar di rumah dan sediakan waktu untuk bermain.
"Sedangkan bagi anak, disarankan lebih banyak berbicara dan berdiskusi bersama orang dewasa seperti orang tua, atau saudara. Keluarkan apa yang dipikirkan dan dirasakan, tidak perlu merasa takut atau khawatir,” jelas Debora.
Ilustrasi orang tua memarahi anak/anak menangis. Shutterstock.com
Di sisi lain, menurut psikolog klinis Annisa Poedji cara anak menyampaikan pikiran dan mengekspresikan perasaannya berbeda-beda, sehingga orang tua atau teman sebaya perlu memikirkan pendekatan terbaik.
Bisa jadi ada anak yang jarang bicara karena karakternya tertutup atau introvert. Atau bisa jadi cara mengekspresikan perasaannya tidak melalui verbal atau lisan, melainkan tulisan.
"Kita yang perlu proaktif pendekatan dan menawarkan berbagai alternatif untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan tidak hanya lewat verbal, tapi bisa lewat tulisan atau gambar. Mungkin dengan media itu membantu mereka bercerita dengan lebih nyaman. Pastikan juga tempat ngobrolnya, nyaman bagi anak untuk mengekspresikan apa yang dia rasakan,” kata Annisa.
Sementara itu, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N Rosalin menjelaskan pengaruh positif teman sebaya juga menjadi salah satu hal penting untuk mewujudkan kesehatan jiwa bagi anak-anak dan remaja. Oleh karena itu, Lenny mengajak agar anak dapat berperan sebagai pelopor dan pelapor bagi orang di sekitarnya.
“Anak bisa berperan sebagai 2P, yaitu pelopor dan pelapor dengan saling sharing teman sebaya. Sharing atau berbagi cerita itu bisa turut meringankan kecemasan yang dirasakan anak," tutur Lenny.
Jika teman sebayanya tak mampu memberikan bantuan, maka sangat disarankan orang tua proaktif. Bisa juga mengajaknya ke psikolog ataupun pusat bantu layanan lainnya.
“Kita harus bantu jangan sampai anak-anak mengalami gangguan kesehatan jiwa, karena kalau sudah mengalami ini pasti perlu waktu untuk pemulihanya, dan tentunya akan menggangu proses belajar mengajar, tumbuh kembang anak, dan kualitas hidup mereka,” imbau Lenny.
Adapun layanan yang dapat diakses melalui Layanan PUSPAGA (Pusat Pembelajaran Keluarga) yang tersebar 135 PUSPAGA di 12 Provinsi dan 120 Kab/Kota, dan Layanan konsultasi psikologi SEJIWA (Sehat Jiwa) di Hotline Telepon 119 (ext.8).
Baca juga: Tips Parenting: Kreatif Beri Stimulasi kepada Anak Saat di Rumah