CANTIKA.COM, Jakarta - Menjalani keseharian dengan penyakit autoimun jenis Immune Thrombocytopenic Purpura atau ITP bukan perkara mudah bagi Yuta Marisza Cardoba. Perempuan 38 tahun menghabiskan lebih dari separuh hidupnya dengan minum obat jenis kortikosteroid.
Selama 25 tahun, Yuta wajib mengkonsumsi obat tersebut demi mengatasi kambuhnya autoimun ITP yang mengakibatkan perdarahan pada tubuhnya. Hanya saja, obat itu juga punya efek samping, yakni berbalik membuat imunitasnya lemah, cepat lelah, dan suasana hati yang tidak terkontrol.
"Obat-obatan ini berimplikasi medis terhadap tubuh dan kehidupan sosial saya," kata Yuta saat dihubungi, Senin 9 November 2020. "Hidup saya berada di titik terendah."
Penyakit autoimun Immune Thrombocytopenic Purpura membuat jumlah trombosit Yuta berkurang drastis. Pada keadaan normal, jumlah trombosit seharusnya 150 ribu. Namun Yuta hanya memiliki 8.000 trombosit. Itu sebabnya dalam pada kondisi tertentu pengidap autoimun ini tiba-tiba mimisan, ada bercak merah di bagian putih mata, hingga mengalami pendarahan hebat di organ dalam.
Yuta mengalami guncangan hebat di usia 30 tahun. Menghadapi penyakit autoimun, ketergantungan pada obat, dan segala efek samping obat membuat dia dalam keadaan tidak stabil. Puncaknya, Yuta berpisah dengan suami. Saat itu dia merasa sendiri, ditolak oleh lingkungan karena selalu memiliki interaksi sosial yang buruk, dan bentuk tubuhnya tidak ideal akibat mengkonsumsi obat.
"Lalu saya mengambil langkah ekstrem di luar sepengetahuan dokter," kata Yuta. "Saya menolak minum obat-obatan itu lagi. Saya malah minum obat diet dan mengurangi makan demi mendapat bentuk tubuh yang lebih baik."
Alih-alih ingin memiliki tubuh yang ramping, Yuta malah koma selama empat hari di rumah sakit. Dia mengalami pendarahan hebat di organ pencernaan yang membuat perutnya membuncit dan jumlah trombosit hanya 1.000 serta sel darah merah HB hanya 3 dari seharusnya 12.
"Saat itu, hanya suara doa dari putri saya yang berumur empat tahun terdengar di telinga," ucap Yuta. "Dalam penutup doanya dia bilang, 'Mami I Love You'. Saat itu saya merasa diinginkan oleh seseorang dan menuntun saya di alam sadar."
Sejak itu, Yuta berada dalam perawatan dokter Aru Sudoyo, ahli penyakit dalam yang pernah menjabat presidium dokter spesialis penyakit dalam dunia. Kondisinya kian membaik dan Yuta siap menyambut kehidupan baru dengan mendampingi para penyintas autoimun lainnya.
Atas saran Aru Sudoyo, Yuta mendirikan Yayasan Marisza Cardoba yang khusus memberikan pendampingan, advokasi sekaligus edukasi tentang autoimun melalui kajian ilmiah. Pada 2016, sebuah kajian ilmiah yang dilakukan beberapa dokter dan peneliti lintas bidang di Yayasan Marisza Cardoba, menemukan konsep makan bersih atau clean eating) dapat membantu penyintas autoimun menghindari reaksi imunitas tubuh yang berlebihan.
Clean eating merupakan metode mengolah dan menyantap makanan yang bersih dari penyedap rasa, pewarna makanan, pengawet, pemanis buatan, dan gluten. Makanan yang bersih dari unsur tambahan itu membuat sehingga gejala kambuhan pada autoimun berkurang. "Tubuh orang dengan autoimun sangat sensitif, semua bahan buatan itu dianggap sebagai benda asing yang dapat memicu reaksi imun yang berlebihan," kata Yuta.
Yuta lantas menerapkan konsep clean eating dalam mengkonsumsi makanan. Dia memasak sendiri makanannya dengan menggunakan bahan dasar organik, menghindari sayur dan buah impor, mengkonumsi daging sapi yang diberi makan rumput asli, hingga ikan laut yang berasal dari laut dalam.
"Alhamdulillah, awal menjalani saya dapat masa remisi (tidak muncul gejala kambuhan) selama tujuh bulan," kata Yuta. Hingga kini Yuta masih menjalankan diet makan bersih tersebut. Sejak itu pula, Yuta lepas dari obat-obatan untuk gejala kambuhannya.
Dari sisi psikologis dan sosial, perempuan yang sekarang tinggal di Bali ini merasa mendapatkan kembali kehidupannya. Dia membuka usaha di Bali dan menikah dengan pria yang juga penyintas autoimun.