CANTIKA.COM, Jakarta - Tanggal 21 April, menjadi salah satu hari bersejarah yang diperingati bangsa Indonesia. Itu adalah hari lahir Raden Ajeng Kartini atau RA. Kartini. Hari Kartini begitu nama hari itu diperingati. Biasanya diperingati dengan acara-acara seperti mengenakan kain dan kebaya oleh para perempuan dan gadis-gadis kecil. Lagu Ibu Kita Kartini pun menggema dari berbagai panggung.
Kita mengenal sosok Kartini melalui foto seorang wanita Jawa yang sederhana. Dalam foto-foto yang beredar ia nampak bersahaja mengenakan kebaya dan bros di dada serta mengenakan sanggul. Bahkan potongan kebayanya kini juga dikenal dengan potongan kebaya Kartini.
Selama berpuluh tahun Kartini menjadi simbol perjuangan wanita Indonesia. Kini bila makin banyak wanita lndonesia berprestasi tinggi, menjadi dokter, menteri, atau presiden pun menunjuk perjuangan Kartini sebagai penyebab utamanya. Dia dianggap pembela kaum perempuan yang memiliki cita-cita besar dan memperjuangkan emansipasi wanita. Pemerintah pun pada 1964 menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepadanya.
Perjuangan Kartini dikenal lewat surat-suratnya kepada sahabat penanya di Belanda. Sejak Mei 1899 dia mendapat sahabat pena melalui majalah De Hollandse Lelie, majalah wanita yang ketika itu amat terkenal di Negeri Belanda dan banyak memuat tulisan bidang sosial dan sastra. Kemudian dia mengenal Stella M. Zeehandelaar, yang berusia lima tahun di atasnya.
"Panggil aku Kartini saja," begitu tulis Kartini dalam surat perkenalannya pada Stella. Sahabat pena Kartini yang lain adalah Ir H.H. van Kol dan istrinya. Van Kol kemudian menjadi anggota Tweede Kamer (Parlemen) di negerinya. Ada lagi Nyonya M.C.E. Ovink, istri asisten residen yang pernah bertugas di Jepara. Lalu Dr. N. Adriani, ahli bahasa yang punya hobi berkirim-kiriman surat.
Dia juga berhubungan baik dengan Abendanon dan istrinya, Rosa Manuela (R.M.) Abendanon Mandri, yang mengadakan perjalanan dinas keliling Pulau Jawa pada tahun 1800. Mereka singgah di Jepara dan berkenalan dengan keluarga Bupati R.M.A.A. Sosroningrat, ayah Kartini dan dua adiknya Roekmini dan Kardinah.
Kartini kemudian menjalin hubungan baik dengan keluarga Belanda itu. Meski pertemuan mereka cuma dua hari, tapi membawa kesan mendalam baginya, karena mereka mengajaknya bertukar pikiran. Setelah itu, surat-menyurat Kartini dengan keluarga Abendanon berlanjut dengan amat intensif, selama sekitar empat tahun. Sampai suratnya yang terakhir, 10 hari sebelum meninggal -- sepanjang yang diketahui sampai saat ini -- tertanggal 7 September 1904.
Kartini tak hanya berkorespondensi dengan orang-orang Belanda. Sejumlah tulisan Kartini yang dimuat di beberapa penerbitan ternyata mengundang surat-surat dari sejumlah pemuda Indonesia sesuatu yang sangat baru di zaman itu. Mereka mengagumi dan menyokong pikiran gadis muda itu.
Kartini sangat gembira ada orang-orang muda yang bersemangat dengan perjuangan. Dia bahkan memiliki panggilan Ayunda dari para pemuda. Dia berpendapat kaum muda baik wanita dan pria seharusnya berhubungan. "Mereka seorang-seorang dapat berbuat sesuatu untuk mengangkat martabat bangsa kita. Tetapi jika kita semua bersatu, menyatupadukan kekuatan kita dan bekerja sama, hasil pekerjaan kita akan jauh lebih besar. Dalam persatuan letaknya kekuatan dan kekuasaan." Pendapat Kartini, yang dikemukakan pada 1901 tujuh tahun sebelum Budi Utomo lahir, memang menunjukkan kemajuan daya pikirnya.
Surat-surat sahabat pena Kartini kemudian diterbitkan dalam buku oleh keluarga Abendanon pada April 1911. Buku itu diterbitkan dalam bahasa Belanda, judulnya, Door Duisternis tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang. Di situ dimuat lebih dari 100 surat, 53 di antaranya merupakan surat Kartini untuk Tuan dan Nyonya Abendanon.
MAJALAH TEMPO
Baca juga: Makna Hari Kartini Kini, Bukan Hanya Mengenai Edukasi