CANTIKA.COM, Jakarta - Surat Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon pada Agustus 1900 menceritakan tentang cita-cita. Dia membandingkan bagaimana perempuan Jawa dengan perempuan Belanda merencanakan masa depan mereka.
Pada satu siang seusai pelajaran sekolah, seorang gadis Belanda jangkung dan pirang di Europeesche Lagere School atau ELS, Letsy Detmar, asyik membaca buku di bawah pohon. "Ayo Letsy, ceritalah, apa saja bacakan sedikit dari bukumu," ujar seorang anak perempuan berkulit sawo matang, dengan rasa ingin tahu yang meluap-luap.
Dialah Kartini, salah satu murid pribumi perempuan di sekolah itu. Letsy bercerita, dia membaca buku bahasa Prancis, agar dapat masuk ke sekolah guru di Belanda.
Letsy kemudian balik bertanya kepada Kartini. "Tetapi Ni, kau belum pernah cerita kepada saya, akan jadi apakah kau nanti?"
Raden Ajeng Kartini. Wikipedia/Tropenmuseum
Kartini tak pernah melupakan pertanyaan Letsy ini. Sebab, kemudian, saat Kartini bertanya kepada ayahnya Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, menjadi apakah dirinya nanti? Sang ayah menjawab, "Raden ayu!"
Sebuah jawaban yang agaknya malah menjadi tanda tanya besar di kepalanya: seperti apa kehidupan raden ayu itu?
Inilah jawaban yang kelak malah membangkitkan jiwa Raden Ajeng Kartini untuk berontak terhadap peraturan-peraturan. Bahwa menjadi raden ayu berarti seorang gadis harus kawin, harus menjadi milik seorang laki-laki, tanpa mempunyai hak untuk bertanya apa, siapa, dan bagaimana.
MAJALAH TEMPO
Baca juga:
Mengenal Kartini Sebagai Trinil: Burung yang Lincah, Cerewet, Jahil, dan Cerdik