CANTIKA.COM, Jakarta - Dewi Nur Aisyah sedang menuju kantornya ketika dihubungi Tempo. Terkadang ia mengarahkan jalan pada supir, serta menyapa koleganya ketika sudah sampai di Kantor Satuan Tugas Penanganan Covid-19 di Badan Nasional Penanggulangan Bencana Jakarta. "Sebentar ya mba, saya turun dulu," kata Dewi saat harus menutup sambungan telepon sementara hingga bisa duduk di tempat kondusif demi menyambung diskusi dengan Tempo pada 5 April 2021.
Sebagai Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas Penanganan Covid-19 Dewi Nur Aisyah beberapa kali tampil dalam konferensi pers Satgas itu menjelaskan soal siapa saja yang menjadi target virus corona ini. Ia pun kerap informasikan faktor apa saja yang membuat kondisi pasien semakin memburuk setelah terinfeksi Covid-19.
Mengolah dan menganalisa data sudah menjadi makanan sehari-hari Dewi, apalagi setelah dia bergabung dalam menangani Covid-19. Menurutnya ada 1 juta data secara real time dari 34 provinsi yang perlu ditelaahnya setiap hari. Data itu didapatnya dari 350 jaringannya sambil bekerja sama dengan Polri dan TNI seluruh Indonesia. Pertengahan April 2021 ini pun, Dewi harus mentransfer ilmu soal pengambilan data Covid-19 kepada 46 ribuan posko Penanganan Covid-19 tingkat kelurahan di seluruh Nusantara.
Dewi Nur Aisyah. Istimewa
Ahli epidemiologi seperti Dewi, memang salah satu profesi yang sangat dicari di masa penanganan Covid-19 ini. Padahal kala Dewi mengambil jurusan itu di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia pada 2006, hanya 10 dari 300 orang yang mau mendalami ilmu itu. Menurut Dewi, epidemiolog mempelajari frekuensi, distribusi, hingga faktor risiko penyakit Covid-19. Ilmu ini juga melihat siapa saja yang diinfeksi virus baru itu. Ia juga terus menelaah soal infeksi penyakit itu hingga memberikan usulan kepada pemangku kebijakan demi bisa mengontrol penyebaran penyakit ini. "Bidang epidemiologi ini kayak detektif. Kami melihat perjalanan penyakit ini berdasarkan analisa big data," kata Dewi.
Dewi ingat seberapa sibuk dia pada 3-6 bulan pertama penanganan Covid-19. Ia diminta bekerja cepat untuk menelaah penyebaran virus itu. Sudah hal yang biasa ketika dia baru sampai rumah pukul 10-12 malam dan jam 9 pagi esok harinya sudah harus sampai kantor lagi. "Bahkan 3 bulan pertama itu, 7x24 jam waktu habis untuk Satuan Tugas dan Gugus Tugas. Biasanya kerjaan yang bisa diselesaikan 7 hari, harus selesai dalam 1 hari saja. Draf yang baru jadi hari ini, sudah harus ada di meja menteri besok," kata Dewi yang banyak menggandeng anak muda Indonesia di timnya.
Tantangan lain yang dialami Dewi adalah Indonesia belum memiliki persiapan dalam penanganan Covid-19. Kapasitas pelayanan masyarakat dan sumber daya manusia sangat terbatas. Laboratorium penelitian Covid-19 belum ada, hingga logistik seperti alat pelindung diri pun masih sangat sedikit jumlahnya. "Satgas yang akhirnya ambil alih semua. Saat itu kami sampai bayar mahal banget agar APD tidak diexpor ke luar negeri. Saya benar-benar menyaksikan sendiri penguatan di bidang kesehatan dari hulu hingga hilir ini," kata Dewi.
Ketika penguatan untuk penangan hilir sudah mulai teratasi, Dewi pun ikut memprediksi bagaimana bentuk pencegahan terbaik agar penyebaran penyakit tidak semakin luas lagi. Timnya mengundang pakar sosiologi, antropolgi, hingga tokoh agama dan masyarakat untuk mendikusikan bagaimana melakukan perubahan perilaku dengan pendekatan humanis. Banyak yang harus diatur termasuk membuat strategi pencegahan penyebaran Covid-19 yang diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa daerah di Indonesia. "Pandemi ini perang akar rumput, tidak bisa hanya diselesaikan oleh pemerintah pusat dan daerah. Butuh sampai lapisan terkecil masyarakat di tingkat bawah untuk menjadi bagian dari solusi secara bertahap ini," katanya.
Presiden Joko Widodo alias Jokowi (tengah) didampingi Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito (kiri) dan anggota Dewi Nur Aisyah menyampaikan keterangan pers di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 24 Juni 2020. Pada saat wabah flu burung melanda beberapa tahun silam, Wiku menjadi anggota panel ahli di Komisi Nasional Pengendalian Flu Burung. ANTARA/Sigid Kurniawan/POOL
Ia pun sangat senang ketika Presiden Joko Widodo memantau langsung pekerjaannya pada April 2020. Dan akhir Juni, Dewi ikut mendampingi Jokowi meluncurkan Bersatu Lawan Covid (BLC), sebuah sistem informasi terintegrasi yang menjadi navigasi Indonesia dalam memahami perkembangan Covid-19. "Alhamdulillah, kelihatan juga efeknya untuk pengendalian kasus di Indonesia," katanya.
Tentu saja ada beberapa hal yang harus dikorbankan Dewi ketika bertugas di Satgas Penanganan Covid-19. Yang pertama adalah hilangnya waktu dengan keluarga, ia nyaris tidak memiliki waktu bermain dengan anak keduanya yang masih berusia 1,5 tahun. Ia pun sampai meminta agar suaminya pulang dari Inggris saat sedang mengambil kuliah S3 demi bisa membantu Dewi menjaga kedua anak mereka ketika Dewi harus bertugas ke Satgas. Beruntung konsultasi dengan para dosen saat di Inggris pun bisa dilakukan secara virtual, sehingga penelitian yang dikerjakan sang suami itu bisa dilanjutkan di tanah air.
Kondisi kesehatannya pun sempat drop saat harus menjalani berbagai tugas penuh tekanan itu. Sejak tahun 2018, Dewi mengalami masalah Hyperthyroid. Penyakit itu membuat Dewi cepat lelah. Ketika orang pada umumnya lelah hanya sampai level 1, Dewi bisa kelelahan hingga ke level 3. Penyakit itu juga membuat tubuhnya sulit menyerap makanan sehingga ia bisa cepat sekali kurus. Saat kuliah di Inggris, ia bahkan pernah turun hingga 15 kilogram karena penyakit autoimun itu.
Untuk mengontrol penyakitnya, Dewi perlu melakukan pengecekan rutin ke dokter spesialis endokrin setiap bulan sekali. Namun pada 6 bulan awal Covid-19 di Indonesia, Dewi ogah ke rumah sakit karena masih khawatir terinfeksi Covid-19. Karena kondisi kesehatannya saat itu kurang terkontrol, Dewi pun sempat merasakan penyakitnya semakin parah. "Tangan saya gemetaran ketika harus presentasi. Saya pun semakin sering ngos-ngosan karena debar jantung lebih cepat," katanya.
Hingga saat ini, Dewi masih belum bisa menerima vaksin Covid-19 karena penyakitnya. Ia pun harus lebih waspada ketika bekerja karena sedang mengandung anak ketiga. Di usia kandungannya 7 bulan ini, Dewi masih tetap pulang pergi kantor.
Dewi Nur Aisyah. Istimewa
Bukan Dewi Nur Aisyah namanya bila hanya fokus menjalani satu pekerjaan saja. Di samping sibuk di Satgas Penanganan Covid-19, Dewi diterima menjadi peneliti senior kehormatan di University College London sejak November 2020. Artinya Dewi harus ikut melakukan supervisi kepada mahasiswa S2 dan S3 yang sedang kuliah di kampus itu. Ia pun perlu tetap melakukan penelitian dan merilis publikasi. "Jadi saya sambil di Satgas Covid-19, saya juga masih mengerjakan 6-7 penelitian nasional dan internasional," kata Dewi.
Dewi memang sudah biasa mengemban berbagai tugas secara berbarengan. Saat S1 semester 7 di Universitas Indonesia, Dewi sempat memegang 13 amanah di 10 organisasi berbeda dalam durasi waktu yang sama. Beruntung ia tetap bisa lulus dalam 3,5 tahun, dengan hasil nilai cumlaude dan bergelar mahasiswa berprestasi. "Saya membiasakan diri bekerja dengan cepat. Kalau orang selesaikan pekerjaan selama 3 bulan, saya bisa menyelesaikannya dalam 1 bulan. Itu sudah karakter saya sejak dulu," kata Dewi.
Dengan berbagai perjuangannya itu, Dewi, kami anggap salah satu sosok perempuan yang ikut berjuang di masa Covid-19. Karena jasanya itu, ia pun menjadi satu dari 6 tokoh yang kami pilih dalam Edisi Khusus Kartini Cantika.Com bertema Semangat Kartini Kala Pandemi.
Peraih Bill and Melinda Gates Foundation Young Investigator Award ini mengatakan makna Kartini masa kini, bukan hanya bisa menjadi sosok yang perlu dikenal. Kunci untuk menjadi Kartini masa kini adalah dengan berkarya, berdaya, dan memberikan manfaat kepada sesama. "Bahkan dalam kondisi yang tidak ideal saat ini, pengorbanan Kartini masa kini luar biasa sekali," katanya menyebut para berbagai profesi yang diemban perempuan, khususnya tenaga kesehatan.
Anggota Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Dewi Nur Aisyah dalam tangkapan layar akun Youtube BNPB Indonesia saat menayangkan bincang-bincang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang diikuti di Jakarta, Senin, 15 Juni 2020. Kredit: ANTARA/Dewanto Samodro
Perempuan lulusan S3 University College London, Inggris ini pun mengajak semua wanita untuk menempuh pendidikan yang tinggi. Mungkin banyak yang menganggap menuntut ilmu sambil menjalankan peran menjadi istri dan ibu itu bertentangan. Padahal keduanya sebenarnya bisa saja sejalan hingga mengangkat derajat manusia di hadapan Tuhan dan masyarakat. "Coba ukur kemampuan diri dan samakan visi misi dengan suami. Saya percaya perempuan itu bisa berdaya dan menuntut ilmu," katanya.
Dewi bercerita, bahwa selama ini ia baru bertemu dengan orang bergelar doktor, baru setelah dia duduk di bangku kuliah. Bayangkan bila para ibu adalah orang pertama yang dilihat anak, dan perempuan itu memiliki pendidikan S3. Artinya anak -anak itu belajar langsung dari seorang yang bergelar doktor sejak dia masih kecil.
"Kita menjadi contoh pertama dan utama yang dilihat anak-anak kita, maka memiliki ilmu itu kewajiban. Saya yakin para perempuan bisa tetap menuntut ilmu setinggi-tingginya walau sudah menikah dan memiliki anak. Saya mau menjadi salah satu contoh itu," katanya.
Baca: Cara Wulan Tilaar Memimpin Martha Tilaar Spa Saat Pandemi: Be More Compassionate