CANTIKA.COM, Jakarta - Sebuah penelitian baru dilakukan untuk mengetahui mengapa kebanyakan penderita asma akan mengalami gejala yang buruk di malam hari. Studi ini melibatkan lebih dari selusin pasien asma melalui dua eksperimen yang ketat dan menemukan jam sirkadian tubuh mungkin bertanggung jawab.
JohnFloyer, seorang dokter asal Inggris, pada tahun 1698 menerbitkan sebuah monografi berjudul A Treatise of the Asthma. Itu adalah salah satu penyelidikan kuat pertama terhadap penyakit umum ini, dan salah satu pengamatan utama Floyer adalah bahwa episode asma cenderung lebih sering terjadi larut malam, yang mengarah ke kondisi yang secara informal disebut sebagai “asma nokturnal”.
Mengutip New Atlas, Selasa, 7 September 2021, hingga tiga perempat penderita asma melaporkan gejala yang memburuk di malam hari dan fenomena ini sering dianggap disebabkan oleh berbagai faktor perilaku dan lingkungan, termasuk perubahan postur, suhu udara, dan lingkungan tidur.
Beberapa peneliti juga berspekulasi ritme sirkadian mungkin berperan dalam pasang surut asma. Kita tahu jam tubuh pusat memengaruhi berbagai proses fisiologis, tetapi para peneliti tidak pernah sepenuhnya memahami efek sistem sirkadian pada tingkat keparahan asma.
“Ini adalah salah satu studi pertama yang secara hati-hati mengisolasi pengaruh sistem sirkadian dari faktor-faktor lain yang bersifat perilaku dan lingkungan, termasuk tidur,” jelas Frank Scheer, penulis koresponden pada studi baru tersebut.
Para peneliti melakukan dua penelitian laboratorium menyeluruh pada 17 orang penderita asma untuk mengisolasi efek siklus sirkadian pada asma. Eksperimen pertama disebut tes “rutin konstan”.
Di sini para peserta tetap terjaga selama 38 jam dalam kondisi cahaya redup yang konsisten. Kohort mempertahankan postur duduk tetap selama 38 jam dan mengonsumsi camilan kalori yang sama setiap dua jam.
Tujuan dari percobaan pertama ini adalah untuk menghilangkan sebanyak mungkin faktor perilaku dan lingkungan, memungkinkan penyelidikan langsung ritme sirkadian pada gejala asma.
Eksperimen kedua dijuluki “desinkronisasi paksa” dan menempatkan kohort ke dalam siklus tidur/bangun tujuh hari, 28 jam dengan perilaku harian yang dijadwalkan secara merata di setiap hari selama 28 jam.
Ini berlangsung selama 196 jam dan dirancang untuk secara efektif memisahkan perilaku sehari-hari dari siklus sirkadian internal 24 jam. Jadi pada akhir percobaan, fase tidur dan makan sepenuhnya dipisahkan dari ritme sirkadian.
Kedua percobaan mengungkapkan ritme sirkadian berperan penting dalam mengatur fungsi paru selama siklus harian. Menariknya, percobaan "desinkronisasi paksa" mengungkapkan fase tidur memang berperan penting dalam keparahan asma terlepas dari efek sirkadian.
Namun, pengaruh siklus sirkadian pada asma sama relevannya dengan siklus perilaku tidur/bangun, dan fungsi paru terendah terdeteksi pada sekitar ekuivalen sirkadian pukul 4 pagi. Jadi, alasan utama asma tampaknya lebih buruk di malam hari karena kombinasi perilaku tidur dan siklus sirkadian yang relatif merata.
“Kami mengamati bahwa orang-orang yang memiliki asma terburuk secara umum adalah orang-orang yang menderita penurunan fungsi paru akibat sirkadian terbesar di malam hari, dan juga memiliki perubahan terbesar yang disebabkan oleh perilaku, termasuk tidur,” kata Steven Shea, co-koresponden penulis pada penelitian ini.
Meskipun studi yang diterbitkan dalam jurnal PNAS ini menawarkan konfirmasi kuat tentang peran ritme sirkadian endogen pada keparahan asma, masih belum diketahui mengapa hal ini terjadi.
Para peneliti berspekulasi serangkaian mekanisme diketahui surut dan mengalir dengan siklus sirkadian, tetapi lebih banyak pekerjaan akan diperlukan untuk mengetahui di mana proses dasar spesifik yang mempengaruhi asma. Mekanisme yang dihipotesiskan mencakup segala sesuatu mulai dari variasi sirkadian dalam kadar histamin, melatonin hingga osilasi harian dalam sel-sel kekebalan.
Baca juga: 6 Olahraga yang Bisa Jadi Pilihan Penderita Penyakit Asma