2. Terlibat dalam kegiatan konservasi
Kopi bukan tanaman yang soliter. Artinya, ia tidak bisa tumbuh sendirian saja. Tanaman kopi memerlukan tanaman penaung yang fungsinya antara lain untuk menahan angin, juga menjaga tanaman kopi dari sinar matahari dan curah hujan yang tinggi. Tanaman-tanaman penaung ini perlu ditanam ulang.
Kalau tidak punya kesempatan untuk menanam bibit secara langsung, Anda bisa ikut berdonasi dengan cara mengadopsi bibit pohon atau adopsi hutan. “Berdonasi dan aksi menanam kembali ini sangat penting untuk melindungi lahan perkebunan kopi agar lingkungannya terus terjaga,” kata Puji.
Ia juga mengapresiasi gerakan-gerakan dari para pemilik kedai kopi yang punya kebijakan terkait kelestarian kopi. Misalnya, mereka menetapkan, dengan membeli kopi tertentu berarti konsumen sudah berdonasi untuk menjaga kelestarian kopi Nusantara dan membantu masyarakat petani kopi tersebut. Hanya saja, ia melihat, gerakan tersebut belum terlalu masif. Gerakan dari konsumen juga sangat diharapkan untuk membantu berdonasi, bukan sekadar membeli dan menikmati kopi.
3. Minum kopi lokal ramah lingkungan
Puji bercerita, kopi merupakan sumber penghasilan terbesar masyarakat Flores Manggarai. Lebih dari 50 persen sumber penghidupan mereka berasal dari kopi. Selain itu, karena kebun kopi di sana dikelola secara agroforest, bukan monokutur, banyak tanaman lain yang tumbuh di lahan mereka termasuk tanaman penaung kopi sebagai sumber pendapatan. Karena itu, dengan mengonsumsi kopi lokal, berarti Anda membantu kesejahteraan petani. Saat mereka bisa sejahtera dari kopi, maka mereka tidak akan menjual lahan untuk dialihfungsikan. Anda pun akan selalu bisa menikmati kopi.
Viki bercerita, sebetulnya harga kopi lokal justru lebih mahal daripada kopi impor. Itu berarti, kopi lokal punya posisi yang sangat bergengsi di dunia perkopian Indonesia. Kopi impor bisa murah karena negara penghasilnya punya stok berlimpah. Hal ini terjadi karena produktivitas perkebunan yang terbilang baru jauh lebih tinggi daripada perkebunan lama. Di Indonesia, kata Viki, masih banyak terdapat perkebunan kopi yang usianya sudah puluhan tahun. Contohnya, pohon-pohon kopi di Flores Manggarai sangat tinggi karena usianya sudah tua.
Jika menengok sejarah kopi di Flores Manggarai, menurut Puji, diperkirakan kopi dibawa oleh para misionaris sekitar tahun 1930. Mereka memperkenalkan kopi sebagai tanaman perkebunan dan mereka menanamnya tanpa pupuk atau pestisida kimia. Seiring waktu, karena mengejar produktivitas, maka kemudian digunakan input-input lain, termasuk bahan kimia.
“Karena kopi merupakan tanaman agroforest, berarti di sekitarnya ada tanaman lain juga. Misalnya, cengkeh dan kemiri. Dengan begitu, tanah di area pohon kopi bisa terkontaminasi. Pupuknya bukan untuk pohon kopi, tapi mengenai pohon kopi. Atau, area perkebunan kopi terkena aliran air dari persawahan yang pakai pupuk kimia. Karena itu, kami sedang mengupayakan agar perkebunan kopi ini dikelola sesuai tata kelola ekologi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, mulai dari budi daya hingga pascapanen,” kata Puji.
4. Kenali asal kopi Anda
Puji menyebutkan, konsumen perlu aware terhadap apa yang mereka konsumsi. Terkait dengan kopi, ia menyarankan agar orang-orang kota juga mengenali dari mana kopi itu berasal, di mana lokasi perkebunannya, kelompok petani mana yang menanamnya, dan siapa nama petaninya. Ia menilai hal ini menjadi penting agar terbangun connectivity. Ketika seseorang punya koneksi dengan kopi tertentu, maka ia dengan senang hati ikut mempromosikan, sekaligus mencari cara untuk membantu pengembangannya.
Ilustrasi kopi. Unsplash.com/Kira Auf Der Heide
Viki bercerita, dulu ia menjelaskan soal kopi kepada pelanggan hanya lewat tulisan-tulisan kecil. Para barista di belakang meja tak bisa bercerita banyak tentang asal kopi yang mereka ramu dan sajikan. Sekarang, lewat media sosial konsumen bisa diajak untuk melihat foto-foto perkebunan yang cantik, dilengkapi keterangan soal ketinggian lahan, misalnya. “Yang lebih seru, konsumen bisa mendapat cerita langsung dari barista soal asal kopi, juga soal karakter dan cita rasanya yang khas. Seandainya kedai kopi itu memakai kopi house blend (campuran sendiri), konsumen bisa bertanya campuran kopinya apa saja. Ketika pengetahuan akan kopi lokal bertambah, kita jadi bangga minum kopi lokal,” kata Viki.
5. Cicipi berbagai kopi nusantara
Di Indonesia terdapat banyak sekali daerah perkebunan kopi dan setiap daerah menghasilkan kopi dengan karakter berbeda. Meski bibitnya sama, karena kelembapan dan kontur tanahnya berbeda, maka karakter kopinya bisa berbeda pula. Viki mengamati, jarang sekali ada negara yang setiap daerahnya punya kopi. Tidak seperti Indonesia, yang di setiap pulaunya punya daerah penghasil kopi.
Viki menyebutkan, penyebutan jenis kopi di Indonesia umumnya berdasarkan daerah perkebunannya. Misalnya, kopi Kintamani, kopi Malabar, kopi Aceh Gayo, dan kopi Toraja Kalosi. Padahal, sebenarnya kopi dari suatu pulau itu bermacam-macam. Selain Kintamani, di Bali ada kopi Mengani. Sedangkan di Jawa Barat, selain kopi Malabar, ada kopi Ciwidey, kopi Gunung Puntang, dan kopi Papandayan.
Saatnya #TimeforActionIndonesia. Bagi pencinta kopi, Viki menyarankan untuk mencoba kopi dalam dalam berbagai cita rasa. Misalnya, minggu ini Anda sudah mencicipi kopi Flores Manggarai dengan rasa khas chocolaty. Ketika datang lagi ke kedai kopi, Anda bisa mencoba kopi yang rasanya fruity. “Bisa dari biji kopi yang berbeda, atau dari biji kopi yang sama tapi diproses dengan cara berbeda. Proses sangrai kopi yang berbeda-beda ini akan menghasilkan cita rasa minuman kopi yang unik,” kata Viki.
Sepakat dengan Viki, Puji mengajak Anda untuk minum beragam kopi nusantara yang enak-enak. “Kopi Nusantara sangat beragam. Budaya maupun cita rasanya sangat khas. Jadi, mari kita bersama-sama mempertahankannya. Ada banyak cerita di balik secangkir kopi yang Anda minum,” katanya.
Baca: 4 Kesalahan Saat Minum Kopi
Halaman