CANTIKA.COM, Jakarta - Perkembangan batik belakangan ini bisa dikatakan cukup memuaskan. Kain batik telah menunjukkan eksistensi dengan ragamnya yang menarik. Batik tak lagi menyinggahi ruang-ruang eksklusif, tetapi telah menjelma dalam berbagai gaya. Tak heran jika banyak orang yang terlanjur asyik memakai batik.
Tujuan utamanya bukan untuk membuat banyak orang menjadi lebih hapal dengan ragam motif batik serta sejarah dan artinya, tetapi lebih mendasar lagi yaitu bagaimana memahami batik dalam sanubari yang dapat mencakup dimensi yang lebih mendalam dari sekadar estetika.
Namun, benarkah kita hanya mengenakan batik dalam berbagai kesempatan tanpa memahami asal sejarah dan makna di baliknya? Mulai dari ragam motif, proses pembuatan, rupa cara melestarikan hingga batik sebagai simbol siklus kehidupan.
Pecinta batik Indonesia pasti tak asing lagi dengan nama Era Soekamto, Fashion & Batik Designer ini mengatakan jika batik bukan sekadar kain atau busana, tetapi menjadi simbol dari siklus kehidupan manusia atau mendampingi hidup manusia. Mulai dari saat manusia di dalam kandungan, usia tujuh bulan atau mitoni, kelahiran, pertama kali anak belajar jalan, menikah hingga menutup mata.
"Itu mengapa setiap siklus hidup manusia menjadikan batik yang dipakai sesuai dengan motifnya. Sebagai contoh saat pernikahan yang dipakai misalnya batik truntum," ucap Era dalam Live Instagram Cerita Cantika, Jumat 1 Oktober 2021.
Tidak sekadar motif tanpa makna, truntum sendiri menurut desainer kelahiran tahun 1976 ini maknanya penuh kasih sayang dan memiliki sejarahnya sendiri. "Diceritakan seroang raja ingin menikah lagi, lalu sang istri rajin membuat titik cahaya dan bunga melati secara konsisten. Lalu raja berpikir betapa konsisten istrinya sehingga mengurungkan niat untuk menikah lagi," jelasnya.
Selain itu, menurut Era yang juga seorang National Wisdom Consultant, batik juga tidak sekadar komoditas atau alat berkomunikasi yang mana sekarang sudah jauh dari esensi sakral. Batik itu tetap sakral karena dikembangkan dengan laku lampah atau perjalanan menuju sesuatu, yakni mengingatkan kita pada kehidupan yang lebih baik.
Sebab saat ini banyak batik yang tidak lagi mengedepankan pakem karena menyesuaikan pasar. Misal kalau mau masuk ke jepang ada motif Jepang, atau mau ke Belanda ya pakai motif Belanda. "Kalau pun mau ada pengembangan tidak apa-apa, tidak melulu ada di titik pakem. Namun saya berharap ada yang terus mengingatkan makna batik bahwa batik klasik itu mengingatkan kita untuk beradab dengan baik," ungkapnya.
Dalam memperingati Hari Batik Nasional, tak lupa Era menyisipkan pesan untuk masyarakat luas. Batik mengajarkan banyak hal, mulailah dengan mencari makna batik. Terpenting adalah menemukan diri kita yang sejati, sehingga ketika kita mau mengenakan batik juga memahami filosofi dibaliknya. Tidak melihat batik sebagai seremonial atau komoditas belaka.
"Sebab batik tulis itu adalah proses yang dibuat dari proses lilin atau malam dan canting, tapi kalau printed dicetak. Nah bedanya kalau dilihat secara langsung batik tulis itu bolak-balik sama, sementara batik cetak di baliknya warna putih," ungkapnya.
Era juga mengajak kita agar mulai memahami batik yang kita pakai, misalnya motif parang jangan sampai salah pakai dan potong. "Kalau ke Jogja dan Solo tidak bisa dipakai, kalau di Jakarta masih okelah," imbuhnya.
Kemudian apa yang disampaikan batik adalah esensinya, dan esensinya selalu Tuhan yang meliputi segala hal yang dekat dengan kita. "Nah kalau itu kan falsafah, outputnya adalah budi pekerti. Batik sebagai rambu-rambu untuk mencapai kesadaran sejati untuk menghaluskan rasa atau budi pekerti di dalam rasa, yakni kesadaran yang ada di dalam diri kita," pungkasnya.
Selamat Hari Batik Nasional!
Baca: Saran Oscar Lawalata Supaya Motif Batik Tak Diklaim Negara Lain