CANTIKA.COM, Jakarta - Model dan aktris, Sophia Latjuba merupakan anak satu-satunya dari pasangan suami istri Azzizurahman Latjuba dan Anna Muller. Ibundanya asli Jerman, sementara ayahnya berdarah Bugis-Banyuwangi. Sophia mengaku dibesarkan dengan ayah yang lembut dan liberal, sementara ibundanya tegas.
"Dia (ayah) tuh mungkin karena ada darah Bone dan Jawa, orangnya mang halus banget. Kalo dibilang (orang) Bugis itu keras, ya keras, cuman halus. Nyokap yang keras orangnya," tutur Sophia dikutip dari kanal YouTube Vindes, Senin, 6 Desember 2021.
"Bokap tuh sangat lembut, tapi yang penting orangnya kita punya principal," sambungnya.
Sedari kecil, orang tua mendidik Sophia untuk mencintai dan mengharga diri, banyak membaca buku, dan teguh pendirian.
Selain lembut, di mata Sophia, ayahnya termasuk orang yang berpikiran liberal. Contohnya, ia memberi kebebasan Sophia menentukan agama yang dianutnya. Mengingat Sophia tumbuh dengan orang tua beda agama, Azzizurahman beragama Islam dan Anna beragama Katolik.
"Orangnya sangat sangat liberal. (waktu aku) Umur 9 atau 10 tahun masih di Jerman, 'Soph sini kita mau ngomong. I know ini gak gampang, kamu juga belum mengerti cuma udah waktunya kamu pilih agama kamu' katanya gitu," kenang Sophia.
Sophia kecil mengira ia sudah memilih agama karena ia rutin ke gereja bersama keluarga ibunya. Tapi ternyata itu bagian pengenalan agama yang dianut ibundanya. Akhirnya, Sophia memilih dibaptis dan menganut agama Katolik. Ketika Sophia memilih mengikuti agama ibundanya, sang ayah mendukung. Menurutnya, agama adalah pilihan masing-masing.
"Iya, gapapa kalau agama kan masing-masing gak usah harus ikut orang tua juga. Jadi orangnya sangat liberal. Orangnya nyantai tapi kalau udah (gak sesuai prinsip), dia biasanya 'behave," ungkapnya.
Sophia Latjuba lahir di Berlin, Jerman. Ia tinggal di Jerman selama 16 tahun. Saat liburan sekolah ke Indonesia, ia ditawari pekerjaan sebagai model. Akhirnya, ia memilih model dibandingkan memulai studinya sebagai dokter.
Baca juga: Intip Potret Sophia Latjuba Bergaya Bak Malaikat, Warganet: Beneran 50 Tahun?
