CANTIKA.COM, Jakarta - Women in Tech menjadi istilah yang kian ramai digaungkan, terlebih sejalan dengan pertumbuhan teknologi yang pesat di Indonesia. Selama ini industri startup dan teknologi identik dengan dominasi kaum laki-laki.
Indonesia bahkan memiliki rasio terendah di Asia Tenggara, dalam hal proporsi perempuan yang bekerja di sektor teknologi, yakni hanya 22 persen. Hal ini berbanding kontras dengan negara-negara seperti Thailand dan Filipina, yang memiliki 48 persen tenaga kerja perempuan di sektor yang sama.
Salah satu sosok perempuan yang terjun ke dunia digital adalah Tessa Wijaya, Chief Operating Officer dan Co-Founder Xendit, perusahaan teknologi keuangan yang menyediakan solusi pembayaran digital untuk Indonesia dan Asia Tenggara. Setelah mendapatkan pendanaan Seri-C pada bulan September 2021 lalu, Tessa Wijaya resmi menjadi pemimpin perempuan pertama di Indonesia yang berhasil membawa startup-nya meraih status unicorn.
Tessa membagikan suka-duka serta pesannya bagi para perempuan yang tertarik untuk memasuki industri startup dan teknologi. Memiliki keprihatinan terhadap isu kesetaraan gender di lingkungan kerja, Tessa berharap bisa meningkatkan kesadaran serta ketertarikan perempuan untuk berkarya di industri yang sedang bertumbuh pesat ini.
“Secara global, founder startup perempuan di bidang teknologi finansial (fintech) masih sangat terbatas, yaitu hanya tujuh persen dari total founder fintech. Hal ini terjadi bukan semata-mata karena perempuan tidak mempunyai keterampilan yang mumpuni. Namun, lebih dikarenakan kurangnya kesadaran bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama bisa berkarya dengan baik di sektor digital. Itulah mengapa, penting sekali untuk mengedukasi generasi perempuan muda agar bisa menjadi pemimpin teknologi di masa depan,” ungkap Tessa yang memiliki latar belakang karir dari industri keuangan.
Ilustrasi wanita duduk bekerja. Freepik.com/Lookstudio
Untuk itu, Tessa pun membagikan lima pesan dari pengalamannya, bagi para perempuan muda yang tertarik untuk membangun karier di bidang startup dan teknologi:
1. Kuatkan mental dan hati untuk fokus pada kapabilitas diri sendiri
Walaupun telah meniti pengalaman selama bertahun-tahun di bidang teknologi, bukan berarti Tessa bebas dari pengalaman diskriminatif. Faktanya, sebagai co-founder perempuan, ia juga pernah merasakan perbedaan perlakuan, misalnya diremehkan atau diragukan oleh pihak lain.
Ketika perempuan ingin memulai sesuatu yang baru, banyak orang yang lebih skeptis dan meragukan kita. Saya sendiri mengalami berbagai penolakan dan pendapat skeptis dari orang lain yang tentunya sempat membuat saya ragu dengan diri sendiri. Dalam beberapa kali rapat, misalnya, ketika saya mengatakan sesuatu, pihak lain tidak mau mendengarkan.
Namun, ketika hal yang sama diucapkan oleh co-founder laki-laki, maka mereka langsung mematuhinya. "Ini adalah tantangan tersendiri yang harus dihadapi sebagai pimpinan perusahaan perempuan, tapi kita harus kuat secara mental dan prinsip, supaya kita bisa tetap percaya diri dan fokus melakukan hal yang benar tanpa mempedulikan selentingan orang lain,” ungkap Tessa.
2. Tidak ada yang mengalahkan kerja keras dan persiapan ekstra
Untuk bisa tampil menonjol dibandingkan rekan-rekan yang lain, kerja keras dan persiapan ekstra adalah kuncinya. Tessa menceritakan bahwa dua karakter inilah yang membedakan karyawan hebat dengan karyawan yang biasa-biasa saja. Tidak peduli apa pun jabatan di perusahaan, kita harus mau terlibat secara aktif dan turun tangan langsung jika dibutuhkan.
3. Berani bersuara
Untuk bisa mendobrak dominasi dan stigma yang ada, perempuan perlu bersikap lebih asertif dan berani bersuara dalam lingkungan pekerjaan. Misalnya, jangan takut untuk mengutarakan pemikiran atau ide-ide dalam diskusi kantor. Hal ini akan membuat orang lain lebih menghormati, menghargai, dan mengakui kontribusi yang kita berikan kepada perusahaan.
4. Terus belajar dan bagikan pelajaran itu ke orang lain
Tessa menyadari bahwa hambatan utama dari para perempuan untuk terjun ke industri startup, fintech, atau teknologi, adalah karena minimnya role model dan kesempatan yang tersedia. Oleh karena itu, salah satu misi utamanya di Xendit adalah membantu semakin banyak perempuan untuk bisa meningkatkan karirnya dan menjadi bagian dari generasi pemimpin di masa depan.
“Untuk mengajak semakin banyak perempuan terlibat aktif di sektor teknologi, kita perlu menjadi mentor yang baik bagi generasi yang lebih muda. Kita juga perlu mendukung mereka dengan kepercayaan diri, pengembangan keterampilan, dan penyediaan sumber daya agar mereka nantinya bisa mendirikan perusahaan sendiri di masa depan,” tambah Tessa.
5. Aktif menjalin koneksi melalui komunitas
Bagi anak-anak remaja yang bercita-cita memasuki industri teknologi, Tessa menggagas inisiatif bernama Women in Tech di Indonesia. Bekerja sama dengan Society of Women Engineers (SWE) komunitas ini menyediakan panduan dan mentorship untuk anak-anak perempuan yang duduk di bangku SMA. Program ini menyatukan para perempuan yang bekerja sebagai techpreneur, developer, dan bahkan calon teknisi untuk bertukar wawasan serta pengalaman melalui serangkaian lokakarya dan forum sosial.
“Menurut saya, untuk meningkatkan partisipasi perempuan di ranah teknologi, kita harus bisa membangun awareness dan kepercayaan diri sejak usia dini. Melalui program Women in Tech, kami bertujuan untuk menumbuhkan ketertarikan pada sektor teknologi dan kewirausahaan, misalnya dengan pembuatan aplikasi dan rencana bisnis. Harapannya, para peserta juga semakin yakin untuk meniti karir di bidang teknologi - baik sebagai wirausaha atau engineer,” ujar Tessa.
Sesuai dengan misi pribadinya, Tessa pun menerapkan beberapa langkah strategis untuk menjadikan Xendit sebagai startup dengan komposisi laki-laki dan perempuan yang setara. Saat ini, 40 persen level manajer di Xendit dipegang oleh perempuan.
Menurut riset Boston Consulting Group (BCG), kesetaraan gender merupakan isu yang perlu diperhatikan di lingkungan kerja, karena dapat berpengaruh langsung pada tingkat inovasi dan performa keuangan perusahaan.
Misalnya, perusahaan yang memiliki setidaknya 20 persen perempuan di tim manajemen memiliki 10 persen pendapatan inovatif yang lebih tinggi dibandingkan tim kepemimpinan yang didominasi laki-laki saja. Tak hanya itu, keberagaman dalam perusahaan juga terbukti dapat meningkatkan budaya kerja, layanan pada konsumen, dan persepsi brand di pasar.
Baca: Alasan Maudy Ayunda Investasi di Startup Grocery, Lebih dari Sekadar Nominal