CANTIKA.COM, Jakarta - Pengusaha Metta Murdaya ingat kebiasaan neneknya yang selalu melumuri kepalanya dengan lidah buaya. Saat itu usianya masih sangat muda. "Umur saya sekitar 4-5 tahun. Nenek saya selalu olesi rambut dengan lidah buaya, lalu saya lari-lari keliling rumah," kata Metta kepada Cantika pada Februari lalu di rumahnya, Menteng, Jakarta.
Ia sering bertanya mengapa sang nenek selalu melumuri rambutnya dengan herbal itu. "Agar subur," kata Metta mencontoh ungkapan sang nenek. Tanpa disaari, saat itu pula Metta dikenalkan soal jamu untuk kecantikan dari keluarganya.
Baca Juga:
Metta besar di Amerika Serikat. Kebiasaan orang menggunakan herbal seperti yang dilakukan neneknya kepadanya jarang dilakukan. Ia ingat, pada tahun 80an, orang Indonesia sangat kagum dengan berbagai makanan Amerika Serikat seperti Pizza, Burger dan berbagai makanan siap sajinya. "Makanan yang tidak pernah basi, dan penuh pengawet serta memiliki warna terang. Ternyata makanan itu yang justru tidak sehat," kata Metta.
Metta masih belum mengenal lebih dalam soal jamu sebelum ia dewasa. Titik baliknya adalah ketika ia pulang dari kantor di usianya yang baru 20an. Kala itu, Metta yang bekerja sangat keras di Amerika Serikat merasa memiliki wajah letih dan terlihat lebih tua. Ia merasa tidak sehat. "Aku mulai burn out, karena kan non stop bekerja. Saat berkaca, aku menyadari bahwa wajahku terlihat sangat buruk. Bagaimana bentuk wajahku di usia 40an nanti?!," kata Metta kala itu.
Metta Murdaya founder Juara Skincare dan penulis buku Jamu Lifestyle, Jakarta. Kamis, 16 Februari 2023. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Untuk tampil segar dan cantik di Amerika Serikat, penawarnya ada obat. Ada pula berbagai perawatan krim-krim mahal yang menjanjikan berbagai kulit tetap awet muda. Semua kosmetik itu, menurut Metta, hanya bisa menyehatkan kulit terluarnya saja. "Produk-produk itu hanya bisa menutrisi kulit saja, bukan tubuhku secara keseluruhan," kata Metta.
Jamu Tidak Hanya Minuman Herbal
Ia berpikir apa asupan yang sehat, rasanya enak, wanginya enak, dan juga bisa membuat tubuh lebih baik. Ia pun ingat dengan tradisi jamu yang sudah mendarah daging di Indonesia. Jamu, menurutnya adalah minuman yang sangat berkhasiat bagi tubuh secara keseluruhan.
Bagi Metta, jamu bukanlah sekedar minuman. Jamu adalah sebuah tradisi kesehatan yang telah terbukti membantu kesejahteraan fisik dan mental masyarakat. "Jamu pun menjadi sebuah warisan berbasis sosial yang membanggakan kita sebagai bangsa Indonesia. Sayangnya, kita sering menyepelekan jamu," kata Metta menyayangkan.
Nilai sosial yang ditawarkan jamu bisa dalam bentuk pemberdayaan perempuan. Maklum, sejak dulu para penjual jamu, rata-rata adalah wanita. Kita pun mengenal istilah jamu gendong, yang digambarkan seorang wanita memanggul keranjang penuh botol jamu di punggung. Mbok jamu, wanita penjual jamu, biasanya akan keliling komplek menawarkan cairan penuh khasiat itu, sambil mengobrol dengan masyarakat dan pembeli lainnya. "Mbok jamu pasti tahu langganannya siapa. Orang pun biasanya memiliki langganan mbok yang yang tahu komposisi spesifik yang diinginkan," kata Metta.
ilustrasi jamu (pixabay.com)
Kita tahu, jamu juga menjadi minuman rutin Presiden Joko Widodo. Yang mungkin jarang terdengar di kalangan masyarakat adalah bagaimana istri Jokowi, menyediakan jamu untuk sang suami? Bagaimana jamu khas yang diinginkan atau bahkan dibutuhkan oleh Jokowi yang memiliki jadwal padat? "Bagaimana istrinya care setiap hari melalui jamu, itu interesting," katanya.
Jamu mendorong adanya diet sehat, aktivitas teratur, dan pengobatan berbasis herbal. Akan tetapi yang membedakan jamu adalah dalam hal bagaimana keterlibatan masyarakat, kesenangan, dan pengalaman penuh kesadaran menjadi bagian integral dari kesehatan itu. Pandemi telah menunjukkan bahwa kesehatan mental kita adalah sama pentingnya.
Bagi Metta, jamu adalah salah satu dari sedikit tradisi di dunia yang memiliki pendekatan holistik dan berbasis komunitas yang mendukung keduanya.
Halaman