Mengenal Loud Laborer dan Pengaruh Mereka dalam Perusahaan, Positif atau Negatif?

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Cantika.com

google-image
Ilustrasi wanita dan rekan kerja. Freepik.com

Ilustrasi wanita dan rekan kerja. Freepik.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Istilah quiet quitting menjadi tren dunia kerja yang terjadi diantara pekerja Milenial dan Gen Z. Quiet quitting adalah istilah untuk menyebut karyawan yang berfokus pada job description-nya, namun mementingkan work life balance, serta menolak hustle culture

Di samping itu, terdapat pula istilah yang juga sedang ramai diperbincangkan yaitu loud laborer. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh André Spicer, seorang profesor perilaku organisasi dan dekan Bayes Business School. Berikut penjelasan lengkapnya. 

Apa Itu Loud Laborer?

Menurut Nicole Price, seorang pelatih kepemimpinan dan pakar tempat kerja. yang dikutip dari CNBC Make It, loud laborer adalah karyawan yang suka menunjukkan pekerjaan mereka agar diketahui oleh banyak orang. 

Mereka menggunakan berbagai metode promosi diri, dengan cara berbicara lebih banyak tentang apa yang mereka lakukan atau rencanakan daripada menyelesaikan pekerjaannya.

Dikutip dari The Guardian, ketika mengerjakan pekerjaan, karyawan loud laborer akan memberitahu semua orang apa yang telah mereka lakukan. Bahkan, mereka juga akan membagikan pekerjaannya melalui sosial media. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan perhatian, atau imbalan yang lebih besar, walaupun hanya sebuah pujian.

Dengan kata lain, karyawan loud laborer menuntut agar upaya kerja mereka terlihat dan mendapatkan penghargaan dengan banyak bicara namun tidak fokus pada hasil pekerjaan. Bahkan, tugas-tugas cenderung terabaikan. 

Mengapa Terdapat Karyawan Loud Laborer di Dunia Kerja?

Price juga menjelaskan bahwa beberapa orang akan berbicara terlalu banyak tentang pencapaian dan juga kekurangan mereka, justru karena pekerja tipe ini kurang percaya diri atau merasa tidak aman. Oleh karena itu, mereka memberikan ekspresi yang berlebihan.

Beberapa dari mereka bisa juga termotivasi oleh penghargaan dan pengakuan eksternal daripada kepuasan dari pekerjaan itu sendiri. Maka, mereka akan fokus pada visibilitas dan promosi diri untuk menarik penghargaan.

Sejalan dengan hal tersebut, Vicki Salemi, pakar karier di portal pekerjaan Monster.com mengatakan para pekerja ini mungkin merasa perlu untuk terus-menerus mempromosikan diri karena mereka tidak mendapatkan pengakuan atau perhatian dari atasan atau rekan kerja.

“Atau bisa juga mereka terlalu percaya diri dengan pekerjaan mereka dan menyombongkan diri,” imbuh Salemi yang dikutip dari CNBC Make It.

Salemi menambahkan, terdapat perbedaan antara seseorang yang dengan percaya diri di tempat kerja dan loud laborer. "Seseorang yang percaya diri akan memilih waktu tepat untuk berbicara dan menyoroti pekerjaan mereka," jelasnya.

Apa Pengaruh Karyawan Loud Laborer terhadap Perusahaan?

Loud laborer memiliki dampak yang cenderung negatif bagi perusahaan. Price menjelaskan bahwa karyawan loud laborer dapat menciptakan lingkungan kerja di mana visibilitas dan promosi diri lebih dihargai daripada hasil aktual, yang dapat mendemotivasi karyawan yang lebih pendiam.

“Promosi diri yang terus-menerus dapat menciptakan suasana persaingan daripada kolaborasi,” tambahnya. "Hal ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam upaya dan pengakuan, yang dapat berdampak negatif pada moral suatu tim kerja,” ungkap Price.

Dengan begitu, karyawan ini akan membuat suasana yang tidak nyaman kepada suatu tim kerja. Istilah toxic di dunia kerja lebih tepat mendeskripsikan keberadaan karyawan loud laborer dalam suatu perusahaan. 

Apa yang Harus Dilakukan Perusahaan Saat Menghadapi Loud Laborer?

Dibutuhkan pemimpin yang bijaksana dalam memberi perlakuan yang adil antara karyawan loud laborer dan karyawan yang lebih pendiam. 

Pemimpin harus memahami bahwa perusahaan juga berjalan berkat karyawan yang lebih berfokus dalam menyelesaikan tugas. Dalam hal ini adalah pekerja yang lebih banyak melakukan aksi dan fokus terhadap tugas-tugasnya, serta sedikit bicara. 

Mereka juga turut berkontribusi dalam mendukung perusahaan. Jadi, bukan memberikan penghargaan terhadap karyawan yang lebih visual dan vokal saja. 

Namun, bukan berarti yang lebih vokal adalah tipe karyawan yang buruk. Penting bagi pemimpin untuk mengenali gaya kerja masing-masing pekerja. Beberapa lebih vokal tentang upaya mereka, sementara yang lain lebih tenang dan lebih fokus pada tugas yang ada.

Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pemimpin yang baik akan melihat kelebihan para karyawannya dan mengkolaborasikannya sehingga jadi satu harmoni yang dapat memajukan perusahaan. 

Perihal kekurangan karyawan, perusahaan juga wajib memberikan kesempatan akan komunikasi yang terbuka serta transparan. Memberikan serangkaian pelatihan pengembangan diri merupakan ide yang bijaksana.  

Price menyarankan, jika terdapat karyawan yang lebih banyak bicara daripada mengutamakan hasil dalam suatu tim, bicarakan dengan mereka tentang masalah ini. Berikan umpan balik konstruktif yang mendorong keseimbangan antara promosi diri dan kerja produktif. Hal tersebut tidak hanya membantu individu tetapi juga menguntungkan seluruh tim serta perusahaan.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."