CANTIKA.COM, Jakarta - Hidup apa adanya, lurus-lurus saja, tidak aneh-aneh, adalah jurus sederhana terhindar dari utang. Utang, sejalan perkembangan sistem keuangan, jenisnya kian variatif, menjadi setan modern yang gencar menggoda calon korban dengan kamuflase nan menawan. Jebakan utang hadir dalam iklan dan promo manis yang mengiming-imingi konsumen "lemah iman" dengan potongan harga, kemudahan cicilan, dan bisa bayar belakangan.
Utang, betapa pun mudah cara memperolehnya, tetap menimbulkan kewajiban untuk membayarnya kembali dengan embel-embel plus bunga.
Ekosistem bisnis rupanya dikondisikan ramah utang, mungkin karena utang membuahkan bunga yang menguntungkan bagi perusahaan kreditur. Ambillah contoh pembelian kendaraan yang prosesnya lebih mudah menggunakan skema kredit ketimbang bayar lunas. Biasanya para pemasar antusias menyambut pembeli dengan sistem kredit, sementara pembelian tunai kadangkala harus indent atau mengantre lama untuk mendapatkan barangnya.
Contoh lain, seperti restoran-restoran besar yang menawarkan promo menarik untuk pembayaran menggunakan kartu kredit, dan promo serupa tidak berlaku untuk pembayaran dengan kartu debit. Sehingga jalan menuju utang seolah sengaja dibuat terlihat indah dan menyenangkan.
Sebetulnya hanya dibutuhkan sedikit kecerdasan agar tidak tergiur utang dengan segala wujud penyamarannya. Bila transaksi tidak menganut “ada barang ada uang”, berarti itu utang. Dan jangan membeli apapun jika tidak memiliki dana atau anggaran untuk memenuhi keinginan tersebut. Sesederhana itu rumusnya.
Pada kalangan rentan, utang banyak timbul hanya karena memandang gaya hidup orang lain lalu terobsesi untuk menyesuaikan diri. Pergaulan sosial kadang memang kejam, bisa menyingkirkan mereka yang tidak mengikuti tren bersama. Namun mengikuti tren bukan hanya tak akan ada habisnya, melainkan juga pertanda bahwa seseorang tidak memiliki pendirian.
Pribadi berpendirian adalah mereka yang menetapkan sendiri standar dan gaya hidupnya berdasarkan kemampuan realistis finansialnya. Tidak terpengaruh apapun yang tengah berkembang di luaran, kecuali hanya fokus memenuhi kebutuhan penting.
Dalam lokakarya literasi digital bertema "Jauhi Pinjol dengan Cakap Literasi Keuangan di Era Digital" yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi di Jawa Barat, pada akhir pekan lalu, terungkap nilai peredaran uang pinjaman online (pinjol) di Indonesia mencapai Rp51,46 triliun. Angka sebesar itu tercatat dari transaksi selama lima bulan, periode pertama Januari hingga 29 Mei 2023.
Kemenkominfo tengah gencar melaksanakan program GNLD ke berbagai penjuru daerah, salah satunya agar masyarakat tidak terus berulang terjebak utang pinjol ilegal. Selain bunga yang mencekik, pinjol ilegal banyak menebar teror dalam proses penagihannya. Sekali seseorang terjerembab dalam utang yang tidak sehat, maka ia memulai kehidupan horor.
Masalah keuangan yang terus menerus dapat memberikan dampak depresi. Penelitian yang dilakukan Universitas Nottingham di Inggris menyebutkan, orang yang mengalami tekanan finansial, terutama sedang terlilit utang, dua kali lebih berisiko mengalami depresi.
Memperkuat hal itu, antropolog Annie Harper dari Universitas Yale melakukan studi dengan mengulas kaitan masalah kesehatan mental dan masalah finansial. Hasilnya, hampir semua responden yang terlilit utang terdiagnosa stres, mereka merasa cemas sepanjang hari dan tidak dapat menikmati hidup.
Meski belum memiliki literasi keuangan yang mumpuni, tidak berpengetahuan dan wawasan luas, setidak-tidaknya dengan bermodal akal sehat pun seharusnya mampu mengontrol seseorang untuk tidak berutang sembarangan. Karena membeli tanpa memiliki uang untuk membayar tentu disadari sebagai suatu tindakan salah yang bakal menimbulkan masalah di kemudian hari.
Pilihan Editor: Berutang Bukan Lagi dengan Alasan Darurat, Namun untuk Biayai Gaya Hidup
Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika