CANTIKA.COM, Jakarta - Klub Walking Tour bertajuk 'Glodok Memerah' menyambut Tahun Baru Imlek 2024 dengan menggelar acara menelusuri kawasan Petak Enam Glodok, termasuk mencicip ragam kuliner khas peranakan pada Sabtu, 3 Februari 2024. Klub yang berjumlah 23 peserta ini bergembira dengan melihat suasana kawasan pecinan menjelak Imlek 2024.
Peserta Walking Tour Petak Enam, Glodok untuk memeriahkan momen Imlek 2024/Foto: Doc. pribadi
Penggagas Walking Tour, Peter Setiawan atau akrab disapa Ko Peter mengatakan selain bergembira bersama, acara tersebut juga menjadi cara mengenal dua budaya Indonesia dan peranakan melalui ragam kuliner.
"Kami menggabungkan tujuan budaya dengan non-budaya - kuliner dan belanja. Tujuan budaya meliputi Kelenteng Toa Se Bio dan Gereja Santa Maria de Fatima (gereja Katholik berarsitektur Tionghoa)," ucap Ko Peter saat dihubungi via pesan instan, Sabtu, 10 Februari 2024.
Mi Pan, salah satu kuliner peranakan di Petak Enam, Glodok/Foto: Doc. Pribadi
Beberapa kuliner yang mereka nikmati antara lain laksa peranakan, cempedak goreng, es kampung jadul, mipan, dan es Belitung. Cempedak goreng termasuk kedai yang ramai dikunjungi karena rasa khas manis cempedak berpadu dengan tepung saat digoreng semakin legit.
"Nah, yang membedakan antara laksa Betawi dengan Peranakan yakni terdapat tambahan udang dalam sajiannya. Sementara mi pan terbuat dari tepung beras, gula jawa cair, dan bawang putih," imbuh pria 60 tahun ini.
Menurut Ko Peter kuliner peranakan bisa menjadi salah satu cara menyatukan budaya Indonesia dengan Tionghoa, antara lain mi, siomai, bakso, dan capcai yang dapat ditemukan di sebagian besar wilayah Indonesia dan disukai berbagai kalangan.
"Kuliner di kawasan Pecinan Petak Enam ada yang halal dan non-halal. Untuk yang halal dapat dinikmati semua kalangan dan menjadi salah satu sarana pemersatu di antara kalangan yang berbeda," ucap dia.
Es goyang kampoeng, kuliner khas Petak Enam, Glodok/Foto: Doc. Pribadi
Ko Peter sendiri lahir di keluarga Tionghoa, baru generasi kedua yang lahir di Indonesia. Semua kakek nenek saya lahir di Tiongkok. "Orangtua saya lahir di Indonesia. Saya tumbuh seperti tercerabut dari akar karena tidak bisa berbahasa Mandarin," ungkapnya.
Ia mengaku, generasinya termasuk generasi yang 'hilang' karena larangan orde baru terhadap segala yang berbau Tionghoa: agama, budaya dan bahasa. "Saya jadi mencari dan belajar kembali dalam perjalanan mencari 'akar' yang hilang itu. Boleh dikatakan saya sekarang menjadi pemerhati budaya Tionghoa," pungkasnya.
Pilihan Editor: Pilihan Diskon dan Promo di Hari Imlek 2024
Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika