Mengulik Asal-usul Halalbihalal, Salah Satu Tradisi Lebaran di Indonesia

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Cek tanggal cuti bersama lebaran 2024 perlu diketahui untuk menentukan waktu mudik hingga bersilaturahmi. Berikut ini jadwal lengkapnya. Foto: Canva

Cek tanggal cuti bersama lebaran 2024 perlu diketahui untuk menentukan waktu mudik hingga bersilaturahmi. Berikut ini jadwal lengkapnya. Foto: Canva

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta Salah satu tradisi Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran di Indonesia adalah halalbihalal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), halalbihalal merupakan kegiatan saling bermaaf-maafan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diselenggarakan di sebuah tempat. 

Halalbihalal berasal dari kata serapan dalam bahasa Arab, yaitu halal, dengan sisipan kata bi di antara halal. Tapi, halalbihalal bukanlah tradisi Arab, tetapi kebiasaan bagi sebagian orang Indonesia. 

Lantas bagaimana asal-usul tradisi halalbihalal di Indonesia? Yuk, kita telusuri bersama.

Asal-usul Halalbihalal

Melansir laman Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), terdapat sejumlah versi terkait sejarah halalbihalal. Dalam kamus Jawa-Belanda karya Dr. Th. Pigeaud pada 1983, istilah tersebut berasal dari kata alal behalal dan halal behalal. 

Kata alal behalal artinya dengan salam (datang dan pergi) untuk meminta maaf atas kesalahan diri kepada orang lebih tua atau orang lain setelah berpuasa (Lebaran atau Tahun Baru Jawa). Sedangkan halal behalal bermakna sebagai dengan salam (datang dan pergi) untuk saling memaafkan di saat Lebaran. 

Asal-muasal penggunaan kata halalbihalal tersebut bermula dari pedagang martabak asal India di Taman Sriwedari, Solo, sekitar 1935-1936. 

Saat itu, martabak termasuk makanan baru bagi masyarakat Indonesia. Para pedagang itu dibantu dengan penduduk pribumi untuk mempromosikan dagangannya dengan kata-kata “Martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal.” Sejak saat itu, istilah halal behalal mulai meluas di tengah masyarakat Solo. 

Versi kedua dikemukakan oleh seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Abdul Wahab Hasbullah pada 1948. Saat itu, beliau memperkenalkan halalbihalal kepada Presiden ke-1 RI Sukarno sebagai wujud silaturahmi antarpemimpin politik yang sedang berkonflik. 

Atas saran Abdul Wahab, Bung Karno mengundang seluruh politikus ke Istana Negara pada Hari Raya Idul Fitri 1948. Para tokoh politik duduk di satu meja untuk mulai menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itu, berbagai instansi pemerintah mulai mengadakan halalbihalal. 

Halalbihalal juga diyakini sudah ada sejak masa pemerintahan Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa. Kala itu, untuk menghemat waktu, tenaga, dan biaya, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana setelah salat Idulfitri. 

Pada pertemuan itu, dilaksanakan tradisi sungkem atau saling memaafkan. Semua punggawa dan prajurit secara tertib melakukan sujud atau tanda bakti dan hormat kepada raja dan permaisuri. Kemudian, kegiatan itu dititu oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halalbihalal. 

Pilihan Editor: 5 Pilihan Kudapan Klasik untuk Lebaran, dari Kue Semprit hingga Rengginang

 

MELYNDA DWI PUSPITA 

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."