CANTIKA.COM, Jakarta - Dalam tumbuh kembang anak, masalah pencernaan terkadang dirasakan buah hati dan menjadi kekhawatiran orang tua. Karena proses penyerapan nutrisi terjadi di saluran cerna, pencernaan yang sehat menjadi kunci tubuh yang sehat.
Ada beragam masalah pencernaan anak yang sering muncul, mulai dari diare hingga sulit buang air besar atau sembelit. Memahami berbagai masalah pencernaan anak, tidak hanya penting untuk mendapatkan penanganan yang tepat, akan tetapi juga untuk memastikan bahwa anak bisa tumbuh dan berkembang dengan optimal.
Dokter Spesialis Anak Subspesialis Gastrohepatologi Anak RS Pondok Indah – Bintaro Jaya, Frieda Handayani Kawanto menyebutkan 3 penyakit pencernaan anak yang kerap dialami buah hati selain diare. "Konstipasi, demam tifoid pada anak, dan intoleransi laktosa," katanya dalam keterangan pers yang diterima Tempo, Mei 2024.
1. Konstipasi
Sembelit atau konstipasi adalah salah satu masalah pencernaan anak. Anak yang mengalami sembelit memiliki keluhan frekuensi buang air besar yang tidak teratur disertai konsistensi tinja yang keras, kering, dan sulit dikeluarkan sehingga menimbulkan nyeri saat buang air besar.
Ada dua tipe konstipasi yang sering dialami anak-anak, di antaranya:
a. Konstipasi organik
Baca Juga:
Konstipasi organik yaitu adanya kelainan fungsi organ. Pada kondisi ini, sembelit disebabkan oleh penyakit tertentu, misalnya penyakit celiac, gangguan tiroid, dan kelainan anatomi usus seperti penyakit Hirschsprung
b. Konstipasi fungsional
Konstipasi fungsional dialami sebagian besar anak-anak. Konstipasi ini terjadi ketika anak menahan keinginan untuk BAB. Konstipasi fungsional dapat disebabkan karena anak khawatir mengalami nyeri atau rasa tidak nyaman, misalnya karena bentuk tinja yang keras
Frieda menjelaskan ada beberapa kondisi yang terlihat ketika anak menahan buang air besar setiap hari. Anak akan mengalami nyeri perut hebat dan kembung. Nafsu makan mereka pun akan menurun. Lalu anak bisa saja mual atau refluks aliran balik dari lambung ke kerongkongan. "Anak juga bisa diare di pakaian dalam akibat kelebihan tinja cair yang merembes," katanya.
Untuk mencegah hal ini terjadi, orang tua harus sigap memeriksa kondisi anak. Adapun tanda yang dapat dideteksi oleh orang tua saat anak mengalami konstipasi adalah adanya lecet pada sekitar dubur serta ukuran tinja yang besar dan keras.
2. Demam Tifoid pada Anak
Pada 2019, sekitar sembilan juta orang mengalami demam tifoid dan 110.000 orang di antaranya mengalami kematian setiap tahun. Demam tifoid adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Penyebaran infeksi terjadi melalui makanan atau air yang terkontaminasi bakteri.
Gejala yang ditimbulkan meliputi demam yang berkepanjangan, sakit kepala, mual, nyeri perut, konstipasi, atau diare. Sebagian penderita bahkan dapat mengalami ruam. Kasus demam tifoid yang berat dapat menyebabkan komplikasi berat yang berakibat fatal.
Demam tifoid dapat diobati dengan antibiotika. Meskipun gejala sudah menghilang, tetapi penderita dapat menjadi pembawa alias carrier yang masih dapat menyebarkan infeksi ke orang lain melalui bakteri di tinja. Sehingga, penting dilakukan pemeriksaan untuk memastikan bakteri Salmonella typhi sudah tidak ada lagi dalam tubuh pasien.
Demam tifoid cenderung terjadi pada area dengan sanitasi yang kurang baik dan kebersihan air minum yang kurang terjaga. Akses air minum bersih, sanitasi yang kuat, higienitas saat mengolah makanan, dan vaksinasi tifoid efektif mencegah terjadinya infeksi penyakit ini. "Vaksinasi tifoid direkomendasikan untuk anak berusia 2 tahun dan orang dewasa sampai usia 45 hingga 65 tahun (tergantung dari jenis vaksin yang digunakan)," katanya.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi bakteri Salmonella typhi. Orang tua bisa memasak makanan sampai matang. Orang tua pun bisa menghindari susu mentah dan mengonsumsi susu pasteurisasi atau susu steril untuk keluarga. Orang tua juga bisa menghindari konsumsi es batu yang tidak jelas sumber airnya. Lalu perlu pula untuk mengonsumsi air minum yang steril atau sudah dimasak. Saran penting lain yang bisa membantu pencegahan demam tifoid pada anak adalah mencuci tangan menggunakan air mengalir dan sabun sebelum mengolah makanan dan sebelum makan. Lalu para orang tua pun perlu untuk mencuci sayur dan buah dengan benar
3. Intoleransi Laktosa
Banyak orang tua keliru menyamakan pengertian istilah intoleransi laktosa dan alergi susu sapi. Meskipun keduanya menunjukkan gejala yang sama, tetapi pada dasarnya kedua masalah ini jelas berbeda. Intoleransi laktosa adalah masalah pencernaan, sedangkan alergi susu sapi melibatkan sistem imun. Sehingga meskipun intoleransi laktosa menimbulkan rasa ketidaknyamanan, tetapi tidak akan menimbulkan kondisi yang mengancam nyawa seperti kejadian syok anafilaksis.
Laktosa adalah gugus gula yang terdapat pada susu dan produk turunannya seperti yogurt dan keju. Produk turunan laktosa lainnya adalah roti, sereal, serta makanan kemasan yang mengandung susu dan keju.
Gejala intoleransi laktosa tergantung dari jumlah yang dikonsumsi dan jumlah yang dapat ditolerir oleh tubuh. Semakin banyak produk laktosa dikonsumsi, maka semakin berat gejala yang timbul. Gejala yang mungkin terjadi di antaranya mual, nyeri perut, keram, kembung, serta BAB cair dan mengandung banyak gas.
Apabila diperlukan dan tersedia di domisili Anda, penanganan intoleransi laktosa dapat dilakukan dengan pemberian suplementasi enzim laktase. Selain itu, berikan suplementasi kalsium dan vitamin D jika anak kurang dapat mengonsumsi produk susu dalam jumlah yang cukup.
Pada beberapa kasus, intoleransi laktosa sifatnya sementara. Namun pada sebagian orang, intoleransi laktosa dapat berlangsung seumur hidup sehingga memerlukan bimbingan nutrisi agar kecukupan kalsium dan vitamin D3 dapat terpenuhi.
Itulah 3 masalah pencernaan pada anak selain diare. Semoga informasi ini bermanfaat ya, Sahabat Cantika.
Pilihan Editor: Berikut Vitamin dan Mineral yang Terkandung dalam Segelas Susu
MITRA TARIGAN
Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika