Atlet Perempuan Indonesia Peraih Medali Olimpiade, Lilis Handayani hingga Windy Cantika Aisah

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Lifter Indonesia, Windy Cantika Aisah berhasil meraih medali Perunggu dalam kelas 49 Kg Putri Grup A Olimpiade Tokyo 2020 di Tokyo International Forum, Tokyo, Jepang, 24 Juli 2021. REUTERS/Edgard Garrido

Lifter Indonesia, Windy Cantika Aisah berhasil meraih medali Perunggu dalam kelas 49 Kg Putri Grup A Olimpiade Tokyo 2020 di Tokyo International Forum, Tokyo, Jepang, 24 Juli 2021. REUTERS/Edgard Garrido

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Kontingen Indonesia telah mengoleksi sebanyak 32 medali sejak pertama kali ikut serta dalam ajang olahraga terbesar sejagad Olimpiade. Meski sudah berpartisipasi pada edisi 1952 di Helsinki, keran medali untuk Indonesia baru terbuka ketika tampil di Olimpiade Seoul 1988. Jelang Olimpiade Paris 2024, berikut ulasan atlet perempuan Indonesia peraih medali olimpiade yang dihimpun Cantika

1. Lilis Handayani, Nurfitriyana, dan Kusuma Wardhani - Olimpiase Seoul 1988

Adalah Lilis Handayani, Kusuma Wardhani, dan Nurfitriyana yang berhasil mengukir catatan baru untuk olahraga Indonesia. Mereka bukan saja telah mengangkat nama Indonesia dan menghindarkan kontingen Indonesia dari cuma sekadar menggigit jari di Seoul. Mereka juga telah mengukir sejarah. Untuk pertama kalinya, sejak Indonesia mengikuti Olimpiade di Helsinki 1952, kontigen Indonesia memenangkan medali. Perak lagi.

Ketika itu, peringkat Indonesia berada di atas Filipina dan Thailand yang merebut satu medali perunggu. Indonesia juga lebih baik dibanding India, yang tak memperoleh satu medali pun di Seoul.

Indonesia mengikuti Olimpiade 1988 Seoul membawa 29 atlet dari 11 cabang olahraga. Pada masa itu olahraga tenis, atletik dan tinju sedang digemari masyarakat Indonesia. Mardi Lestari, Yayuk Basuki, Suharyadi, Donald Wailan Walalangi, Adrianus Taroreh merupakan nama-nama atlet terkenal yang mengikuti Olimpiade 1988.

Sedangkan Nurfitriyana Saiman Lantang, Lilies Handayani dan Kusuma Wardhani sama sekali tidak terkenal sebelum meraih medali perak olimpiade. Malahan pelatihnya Donald Pandiangan yang namanya lebih beken. Donald Pandiangan juga pernah ikut Olimpiade tahun 1976 dan 1984.

Dua pekan sebelum trio srikandi meraih medali perak, Indonesia nyaris mendapatkan medali olimpiade dari cabang angkat besi. Atlet angkat besi putra Dirja Wihardja menempati peringkat 4 kelas 56 kilogram.

Ketiga atlet panahan yang kemudian akrab disapa tiga srikandi hanya bisa menangis, mencium busur, anak panah, dan kemudian berangkulan, begitu panitia mengumumkan regu Indonesia keluar sebagai juara kedua dalam nomor beregu putri. Kedudukan itu dicapai setelah mereka berhasil menundukkan regu tangguh AS dalam pertandingan ulangan atau play off. Saingan berat dalam cabang panahan ini datang dari kubu AS, Korea Selatan, dan Uni Soviet.

Namun, di babak final tiga pemanah putri Indonesia yang berada di lajur keempat arena pertandingan tampaknya tidak kehilangan nyali. Detik-detik ketegangan dimulai pukul 14.30. Lilis, Kusuma, dan Yana, panggilan akrab Nurfitriyana, masing-masing diapit para pemanah Inggris dan trio Soviet. Dari busur panah mereka mesti ditembakkan masing-masing sembilan anak panah untuk tiap nomor jarak. Lilis berdiri di tengah. Ia diapit Yana di sebelah kiri dan Kusuma di kanannya. Perjuangan pertama pada jarak 30 meter.

Lilis mengangkat tangan kirinya lurus setinggi bahu. Dengan konsentrasi penuh, tali busur ditarik sampai menyentuh mulut. Sementara itu, mata menatap tajam ke lingkaran pusat. Anak panah pun segera melesat mencapai sasarannya. Clap. Di jarak ini para srikandi Indonesia membuat kejutan. Mengungguli saingan-saingannya dengan angka 259 dari kemungkinan 270.

Sedangkan Korea berada di urutan kedua dengan selisih 1 angka dan AS di tempat ketiga dengan angka 253. Melihat hasil yang dicapai itu, ketiganya yakin bahwa mereka bisa menyumbangkan medali pertama bagi Indonesia di arena olimpiade. Pada jarak 50 meter, Lilis yang berambut ikal itu kembali mengangkat busurnya. Di jarak ini mereka masih bisa bertahan di urutan kedua dengan meraih angka 237, sama seperti AS.

Sedangkan Korea Selatan menyodok ke urutan pertama setelah menyabet angka 240. Pada jarak 60 dan 70 meter, para pemanah Korea makin menunjukkan kelasnya. Tampaknya, sulit mengejar mereka yang memperoleh 241. Tapi posisi kedua masih bisa dipertahankan oleh trio srikandi Indonesia setelah mampu mengumpulkan angka 235. Satu angka di atas regu AS. Secara total dari 3 jarak, Korea telah mengumpulkan angka 739, Indonesia 731, sementara Amerika 724.

Tiga besar ini seperti menggantungkan harapan pada 27 anak panah penghabisan. Yaitu pada nomor jarak 70 meter. Clap, clap, clap. Sembilan anak panah pertama dilesatkan. Korea 821, Indonesia 810, AS 803. Lalu sembilan lagi. Nilai Korea 901, Indonesia 879, dan AS 873. Dan Lilis mendesingkan tiga panah lagi, begitu juga Yana dan Kusuma.

Papan skor menunjukkan: Korea Selatan berada di tempat tertinggi. Nilainya 982. Menyusul tempat keempat sampai kedelapan. Catatan tempat kedua dan ketiga masih kosong. Ternyata, kemudian diumumkan bahwa regu Indonesia dan Amerika mendapat nilai sama, 952. Kedua regu harus bertanding ulang dengan 9 anak panah, untuk menentukan juara kedua dan ketiga.

Ketegangan semakin bersimaharajalela. Wiek Djatmika, Ketua Kontingen Indonesia, sudah pasrah. "Perunggu pun kita terima, karena itu pun sudah sejarah bagi Indonesia," kata Wiek.

Ternyata, bukan perunggu. Satu anak panah Amerika lepas sasaran. Sehingga, Indonesia memperoleh nilai 72, sementara AS ada 5 angka di bawahnya. Lalu mengalirlah air mata kebahagiaan itu. Indonesia meraih medali perak. Untuk pertama kalinya Sang Saka Merah Putih dikerek di Olimpiade setelah pengalungan medali. Regu pemanah lain negara juga ikut menyalami dan mengucapkan selamat.

Trio jagoan panahan itu dipersiapkan sejak akhir 1987, untuk menghadapi Kejuaraan Panahan Asia, Januari 1988. Setelah itu digenjot lagi enam jam setiap hari, kecuali Minggu. Pengalaman tanding diperoleh dari pertandingan di Eropa selama satu bulan lebih. Pada SEA Games XIV, 1987, Kusuma Wardhani, yang lahir di Ujungpandang itu, sudah menunjukkan kebolehannya.

Ia berhasil mempertajam rekor Olimpiade. Semula hanya Kusuma yang akan dikirim ke Seoul. "Tetapi kami menjelaskan bahwa peluang Indonesia justru terletak pada nomor beregu. Semua itu terbukti sekarang," ujar Udi Harsono, Sekjen Perpani. Sedangkan Nurfitriyana, pada SEA Games XIV itu, menggaet 3 emas dan 3 perak. Inilah yang menghentikan keputusasaannya pada olahraga panahan itu. "Waktu latihan untuk SEA Games itu, saya sudah mikir-mikir mau berhenti setelah SEA Games itu," ujar Nurfitriyana.

2. Susi Susanti - Olimpiade Barcelona 1992 dan Olimpiade Atlanta 1996

Susi Susanti. (Instagram/@susysusantiofficial)

Kamis, 4 Agustus 1992, Susi Susanti dan Alan Budikusuma sumbangkan medali emas pertama bulu tangkis di perhelatan tingkat olimpiade, Olimpiade Barcelona. Ada cerita menarik dibalik perjuangan "Pasangan Emas Olimpiade" ini. 

Susi Susanti bangkit dari ketertinggalan untuk mengalahkan pemain Korea Selatan Bang Soo-Hyun saat final tunggal putri. Kemenangan ini juga menjadi emas pertama bagi Indonesia di ajang Olimpiade. 

Dilansir dari laman Olympics, di ajang 30 tahun lalu itu, Alan menyusul pertambahan medali emas setelah mengalahkan Ardy Wiranata di tunggal putra. Ini adalah final pertarungan All Indonesian. Bahkan sebelum itu, pada babak semifinal hanya seorang Thomas Stuer Lauridsen lah yang menyelinap masuk di babak semifinal. Karena Ardy juga melawan Hermawan Susanto. 

Semua jagoan Cina dan Malaysia kala itu, gugur. Bahkan Zhao Jianhua yang merupakan unggulan utama yang diperkirakan akan menjegal Ardy di final telah dipecundangi Hermawan saat perempat final. 

Majalah Tempo edisi 8 Agustus 1992 mencatat sejarah ini. Lebih lagi, kemenangan Hermawan ini sangat berarti baginya. Dari delapan kali pertandingan Hermawan melawan Zhao Jianhua baru kali itu ia bisa menang.  "Saya selalu mempertahankan irama permainan yang cepat," kata Hermawan seakan menganalisa kunci keberhasilannya. 

Lain pula kisah Susi  Susanti saat renggut emas Olimpiade Barcelona. Dimana ia mengalahkan Huang Hua dari Cina saat di semifinal, "Kali ini saya main ngotot, maunya menang terus," kata Susy yang mengaku tegang. 

Susi terbang ke Barcelona membawa bekal tak lazim. Abon, tempe goreng, dan ikan teri goreng. Diketahui sejak 5 Desember 1991 Susy selalu berdoa di gereja. "Saya mau hari esok lebih baik dari yang sekarang," ungkapnya. 

Dalam catatan Tempo di majalah edisi Sabtu, 15 Agustus 1992 perjalanan Susy di tahun itu pun tak semuanya manis. Dalam All England 1992, ia dikalahkan sebelum mencapai final, karena flu.  "Biarlah sekali-sekali kalah. Biar latihannya lebih bersemangat. Kalau menang terus, Susy bakal lalai," kata Risad, ayahanda Susi. 

Benar saja, perjuangkan Susi lebih getol, menuju Olimpiade persiapan dirinya lebih gila lagi. Alhasil, di Barcelona Susi berdiri di podium tertinggi, ia meraih emas.  Susi Susanti menangis terharu ketika Indonesia Raya berkumandang di gedung itu, ketika Merah Putih dinaikkan di depannya, walau jauh, jauh dari Tanah Air. Sejarah atlet Indonesia di Olimpiade terukir. 

Susi Susanti. ANTARA/Puspa Perwitasari

3. Mia Audina - Olimpiade Atlanta 1996

Mia Audina. (olympic.org)

Mia Audina Tjiptawan adalah seorang mantan pemain bulu tangkis Indonesia. Ia merupakan peraih medali perak Olimpiade Atlanta 1996 dan Athena 2004. Ia memperkuat Tim Piala Uber Indonesia saat masih berumur 14 tahun dan menjadi anggota Tim Piala Uber termuda sepanjang sejarah bulu tangkis. Mia mendapat julukan "Si Anak Ajaib" dan "Anak SMA Penentu Piala Uber" karena menjadi pemain penentu kemenangan Indonesia saat menjuarai Piala Uber 1994 dan 1996. 

Mia memperoleh medali perak Olimpiade Atlanta 1996 setelah di final dikalahkan Bang Soo-Hyun, pemain andalan Korea Selatan. Pada tahun 1999 Mia menikah dengan Tylio Arlo Lobman, seorang penyanyi gospel asal Suriname berkebangsaan Belanda. Ia kemudian menetap dan menjadi warga negara Belanda dan mulai mewakili Belanda dalam berbagai pertandingan. Pada tahun 2006, Mia pensiun dari dunia bulutangkis karena kondisi fisik dan bermaksud menjalankan bisnis batu mulia

4. Raema Lisa Rumbewas - Olimpiade Sydney 2000, Olimpiade Athena 2003, dan Olimpiade Beijing 2008

Lisa Raema Rumbewas. AP/Wong Maye-E

Lisa Rumbewas lahir pada 10 September 1980 dari pasangan Luvenus Rumbewas dan Ida Aldamina Korwa. Ia debut di panggung Olimpiade 2000 Sydney, kala itu kategori putri angkat besi baru pertama kali dipertandingkan.

Penampilan lifter dari Bumi Cenderawasih ini pun cemerlang. Ia mampu mengamankan medali perunggu di kelas 49 kg. Namun, beberapa hari berselang Izabela Dragneva (Bulgaria) rivalnya yang naik di podium kedua terbukti positif doping, alhasil Lisa pun berhak atas perak tersebut. Lisa kembali tampil di Olimpiade 2004 Athena dan membawa pulang medali perak di kelas 53 kg.

Turun di Olimpiade 2008 Beijing, Lisa saat itu harus puas di urutan keempat. Tapi, ia kemudian diuntungkan, menyusul uji sample doping 2008 yang dilakukan pada 2016 menyatakan hasil Natassia Novikava (Belarusia) yang mendapat medali perunggu adalah positif.

Alhasil, medali tersebut jatuh ke tangan Lisa. Penyerahan medali secara seremonial diberikan oleh senior Komite Olimpiade Internasional Rita Subowo dan Ketua KOI 2015-2019 Erick Thohir.

Lifter putri Lisa Rumbewas yang pernah meraih tiga medali Olimpiade untuk Indonesia, mengembuskan napas terakhirnya pada Minggu dinihari, 14 Januari 2024, di RSUD Jayapura, Papua. Ia berpulang dalam usia 43 tahun.

Ibunda Lisa, IIda Aldamina Korwa, mengatakan epilepsi putrinya sempat kambuh pada 6 Januari. Ia terjatuh dan sempat tidak sadarkan diri sehingga dibawa ke Rumah Sakit Provita Jayapura.

“Kebetulan saat itu obatnya habis, ketika kambuh di malam hari dia di kamar. Ia terjatuh, tak sadar dan keningnya sudah berdarah. Kami bawa ke Rumah Sakit Provita, tiga hari dirawat di sana, kami dirujuk ke RSUD Jayapura di Senin siang hingga anak kami mengembuskan napas terakhirnya dini hari tadi,” ujar Ida.

Ida mengatakan, selama di rumah sakit, Lisa juga sempat mengalami kejang yang cukup parah. Tim dokter telah memberikan obat antikejang dan beberapa obat lainnya. “Ketika di rumah sakit katanya juga ada infeksi paru-paru dan kadar albumin juga sempat turun,” kata Ida.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."